MEGAH. Cungkup Tumenggung Mangsupati di Desa Pamolokan, Sumenep. (Foto/Ngoser.ID) |
Ngoser.ID - Kabupaten
Sumenep banyak memiliki destinasi wisata religi yang tersembunyi. Tersembunyi
di sini bukan secara maknawi, namun kiasan. Karena lokasinya tidak luput dari
pandangan mata alias kasat mata, dan tidak jauh dari lalu lalang banyak orang.
Namun karena jejak informasi yang terhapus digerus roda zaman,
destinasi-destinasi religi itu mulai tersisih dari sasaran anak panah para
peziarah. Salah satunya Cungkup Kiai Tumenggung Mangsupati di Desa Pamolokan,
Kecamatan Kota Sumenep.
Nama Tumenggung Mangsupati tidak begitu populer dalam sejarah
Sumenep. Kiprahnya tidak pernah disinggung. Hanya keterangan dalam lembaran
genealogi. Sejarah tempo doeloe memang kebanyakan berakar pada sejarah kekeluargaan.
Dalam Babad Songennep tulisan Raden Werdisastra (1914), Tumenggung
Mangsupati merupakan gelar Patih Sumenep di masa Panembahan Sumolo, putra
Bindara Saot. Jabatan itu diemban Mangsupati, kemungkinan besar pasca gugurnya
Kiai Angabai Mangundireja atau Pate Mangon dalam bentrok fisik dengan pasukan
Inggris di sekitar Pelabuhan Saronggi pada 1796 M.
“Hanya saja, tidak dijelaskan apakah ada Patih lain antara masa
jabatan keduanya,” kata R. B. Moh. Muhlis Danafia, salah satu pemerhati sejarah
di Sumenep, Sabtu (05/09/2019).
Dalam catatan Silsilah Keluarga Keraton Sumenep, Tumenggung
Mangsupati bernama kecil Kiai Zakariya. Beliau adalah salah satu putra Bindara
Ibrahim alias Kiai Saba di Batuampar (sekarang secara administratif masuk
wilayah kecamatan Guluk-Guluk).
Kiai Saba adalah saudara seayah Bindara Saot alias Tumenggung
Tirtonegoro, penguasa Sumenep di 1750-1762 M. Keduanya sama-sama putra Kiai
Abdullah alias Entol Bungso di Batuampar. Sehingga dengan demikian, antara
Tumenggung Mangsupati dan Panembahan Sumolo memiliki hubungan saudara sepupu.
Tak hanya dari sisi ayah saja. Ibunda keduanya, yaitu Nyai Rum (ibu Mangsupati)
dan Nyai Izzah (ibu Sumolo) juga bersaudara, sama-sama putri Kiai Jalaluddin di
Parongpong, Kecamatan Dasuk.
Dalam catatan sejarah Sumenep, anak-anak Kiai Saba ada enam orang.
Kiai Tumenggung Mangsupati, Kiai Penghulu Batuampar I (Nugrahan), Ramana
Molasir, Kiai Parisin, Nyai Bara’, dan Nyai Suriya.
Setelah menjabat sebagai Patih Sumenep, Tumenggung Mangsupati
menetap di Sumenep. Belum ditemukan keterangan alasan kuat Panembahan Sumolo
menunjuk beliau sebagai wakil penguasa.
Namun menurut riwayat, anak-anak Kiai Saba memang dikenal banyak yang alim dan berpengetahuan luas. Mungkin hal itu yang menjadi dasar utama pertimbangan Panembahan Sumolo. Dan, hal itu bisa saja dibuktikan dengan penghormatan pihak keraton pada tempat peristirahatan Sang Patih, alias sepeninggalnya.
Namun menurut riwayat, anak-anak Kiai Saba memang dikenal banyak yang alim dan berpengetahuan luas. Mungkin hal itu yang menjadi dasar utama pertimbangan Panembahan Sumolo. Dan, hal itu bisa saja dibuktikan dengan penghormatan pihak keraton pada tempat peristirahatan Sang Patih, alias sepeninggalnya.
“Cungkup beliau sangat istimewa. Meski kijing makamnya sebagaimana
model era di pasca Bindara Saot. Sederhana,” kata R. B. Hairil Anwar pemerhati
Sejarah Sumenep lainnya.
Keistimewaan cungkup Mangsupati sebagaimana yang dikatakan salah
satu personel Tim Ngoser (Ngopi Sejarah) Sumenep ini, terletak pada ornamen
cungkup. Di sana memang terdapat simbol padi dan lapik teratai.
“Lapik teratai kalau dalam budaya Hindu-Budha memiliki makna suci.
Teratai merupakan gambaran singgasana dewa-dewi yang merupakan perwujudan surga
atau menghidupi dunia,” kata anggota TACB Sumenep ini.
Dalam penerapan simbol-simbol pada ornamen bangunan-bangunan kuna,
Madura memang masih mendapat pengaruh kuat dari Jawa. Di mana merupakan pusat
pemerintahan Nusantara di masa pra Islam. Namun, simbol-simbol itu lebur dengan
sendirinya menjadi budaya tanpa mengurangi kekentalan Islam yang menjadi agama
terbesar di negeri ini.
Kembali pada cungkup Mangsupati, kondisinya masih utuh dan cukup
bagus. Lokasinya berada di utara jalan penghubung antara area Pemakaman Tuan
dan Pemakaman Jeruk Purut di Pamolokan. Sekira 100 meter ke utara dari jalan
raya.
“Hanya perlu perawatan ringan. Namun, yang lebih penting ialah
mengetahui siapa beliau dan kiprahnya dalam sejarah Sumenep,” kata Iik Guno
Sasmito, salah satu personel Ngoser lainnya.
SP/Ng
0 Komentar