Ilustrasi Buku-buku lawas berbahasa Madura. (Foto/Repro Istimewa) |
Ngoser.ID - Tak hanya memiliki beberapa faktor yang
menjadi penghambat perkembangan bahasa Madura, tidak adanya daya saing membuat
bahasa ini makin terdesak. Apa pasal?
Mau tak mau hal ini bisa dimaklumi. Dulu, bahasa Madura
pernah menjadi bahasa persatuan. Lingua franca. Bahasa ini melampaui garis-garis teritorialnya. Ia tak hanya menjadi alat komunikasi Pulau Madura
dengan tiga wilayahnya (Madura Barat, Pamekasan, dan Madura Timur), sebagai
pusat lahirnya bahasa ini.
Lebih jauh lagi bahasa pulau garam ini mendesak bahasa
Jawa di tapal kuda. Hingga kini tak kurang dari 10 kabupaten menjadi penutur
bahasa ini (dikurangi empat kabupaten di Madura sendiri). Sesuatu yang lebih
dari keren. Tapi itu dulu. Meski sekarang masih tetap digunakan oleh sebagian
orang di sini dan sana.
Kenapa sebagian? Sempat menjadi bahasa tinggi selain
bahasa Jawa dan Sunda, roda jaman membalik kedudukan bahasa Madura. Pasca
proklamasi kedaulatan RI, kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan negara
baru bernama Indonesia ini memang tidak akan pernah mampu disaingi Bahasa
daerah manapun, termasuk di antaranya bahasa Madura sendiri. Suatu hal yang
seperti disebut di muka, bisa dimaklumi.
"Sebenarnya tak hanya pengaruh bahasa Indonesia
saja, tapi juga bahasa asing juga membawa pengaruh yang tidak sedikit yang
membuat bahasa Madura terdesak dan semakin terpinggirkan di kalangan para
penuturnya sendiri," kata pemerhati bahasa Madura dari Sumenep, R. B. Moh
Muhlis, pada Ngoser.ID.
Menurut Muhlis, mengutip Dr Supomo Pujosudarmo, yang
dikhawatirkan di kalangan penutur Dwi Bahasa ialah timbulnya gejala diglosia.
Yakni sebuah gejala dimana pemakai dwi bahasa tersebut cenderung mengambil
salah satu bahasa yang lebih (high) tinggi dari bahasa satunya yang lain.
"Sehingga menurut Supomo, bahasa dengan prestise
yang lebih tinggilah yang akan menang dalam percaturan kedua bahasa tersebut.
Dan ini saya kira kekhawatiran itu sudah mulai terjadi dan menimpa bahasa
Madura kita," kata guru PNS ini.
Di samping itu, kurangnya sarana dan prasarana juga
memperparah kondisi bahasa Madura kini. Semestinya menurut Muhlis bahasa Madura
memiliki media massa khusus yang bisa memberikan kesempatan bagi berkembangnya
bahasa dan sastra Madura.
"Keadaan ini (tidak adanya media massa khusus;
red) yang menyebabkan pembinaan dan pengembangan Bahasa Madura tambah tidak
memiliki bentuk dan wahana," tutupnya.
Ibu Yang Asing Bagi Anaknya
Hubungan bahasa Madura dengan penuturnya sedekat hubungan
darah. Laksana ibu dan anak. Suatu hal yang mustahil jika keduanya terasa asing
satu sama lain. Namun itulah yang terjadi saat ini.
“Bahasa Madura adalah identitas dan jati diri kita. Saya
kira lucu, saat orang Madura sendiri sudah lupa atau bahkan buta pada bahasa
ibunya,” kata DR Mohammad Saidi, juga pemerhati bahasa Madura suatu ketika.
Meski begitu Saidi memang mengakui bahwa bahasa Madura
merupakan bahasa yang sulit dipelajari. Anak-anak lebih banyak dikenalkan pada
bahasa Indonesia yang lebih muda mempelajarinya. Bahkan, ia membandingkan
mempelajari bahasa Madura dengan bahasa Inggris, bagi pelajar yang murni buta
pada kedua bahasa tersebut, disebutnya akan lebih mudah mempelajari bahasa
Inggris.
“Salah satu letak sulitnya karena bahasa Madura ini
bahasa nada, seperti Cina. Contohnya pada kata baja. Ada empat makna,
tapi artinya beda. Dua di antaranya dilafalkan sama namun beda arti. Seperti
baja bisa berarti waktu, kemudian baja yang artinya cucu. Ada baja yang berarti
gigi, dan juga sejenis besi. Kemudian juga baja yang merupakan salah satu jenis binatang reptil yaitu
buaya. Sehingga untuk membedakannya bisa dilihat dari kalimat yang mengiringi
kata-kata tersebut,” jelas salah satu menantu alamarhum R. P Abd. Sukur
Notoasmoro, Praktisi Bahasa Madura legendaris.
Belum lagi masalah ejaan, yang menurut Saidi sangat
penting dipahami. Namun alasan sulit itu disebutnya juga tidak lantas dijadikan
pembenaran atas kondisi bahasa Madura saat ini. “Diperlukan kesadaran dari
semua pihak untuk membenahi kondisi ini,” imbuhnya.
Solusi Jangka Pendek Dan Panjang
Kondisi perkembangan bahasa Madura yang saat ini dinilai
beberapa pemerhati sudah tidak menguntungkan bagi perkembangan bahasa ini,
diharapkan segera bisa diatasi. Menurut Rabiatul Adawiyah, S.Pd, setidaknya ada
dua solusi yang bisa ditempuh.
"Solusi ini berupa tindakan jangka pendek dan jangka
panjang," kata salah satu pemerhati bahasa Madura lainnya di Sumenep itu
pada Ngoser.ID.
Tindakan jangka panjang yang dimaksud salah satu guru di
SMP Negeri 1 Saronggi ini di antaranya dengan cara menyemarakkan acara kesenian
lokal. Selain itu dengan terus acara siaran yang memanfaatkan teknologi
komunikasi semisal radio. "Bisa juga dengan mengadakan kuis-kuis Bahasa
Madura," tambahnya.
Sementara dalam tindakan jangka panjang, menurut Rabiatul
harus ada pembenahan yang dimulai dari bidang pendidikan. Pembenahan itu ialah
dengan melakukan perubahan yang dianggap perlu dalam kurikulum pendidikan yang
sifatnya dapat memenuhi kebutuhan keterampilan maupun kemahiran berbahasa
Madura.
"Ya tentu saja hal ini termasuk pembinaan guru
bahasa Madura, bahan pelajaran, dan metode-metodenya di dalamnya," imbuh ibu
dari tiga anak ini.
Selain itu, bidang penerangan yang melibatkan satker
pemerintah daerah terkait seperti Dinas Kominfo dan juga Tim Nabhara
diharapkannya bisa turut berkecimpung di dalam hal ini. "Ini penting. Lalu
juga di bidang kesenian, perlu dibangkitkan motivasi agar anak gemar pada
kesenian Madura, khususnya seni bahasa," tutupnya.
Mf/Ng
0 Komentar