Ilustrasi Keraton Sambilangan (atas), dan Pasarean Pangeran Cakraningrat IV di Aermata, Bangkalan. (Foto/Istimewa) |
Ngoser.ID - Suatu ketika, saat berselancar di dunia
maya, tak sengaja menemukan tulisan yang menyatakan tak adanya Pahlawan di
Madura. Tulisan pendek. Dengan judul agak pedas: Maaf, Tidak Ada Pahlawan dari
Madura. Saya pun jadi teringat dengan cabe rawit. Kecil, pendek, tapi pedas.
Meski begitu, rasa pedas itu hanya akan dirasakan yang mengunyahnya. Begitu
pula tulisan itu, terasa pedasnya saat dibaca oleh warga Madura.
Meski tulisan itu sempat menyinggung dua
nama yang “berpotensi” menjadi pahlawan, namun tidak lantas bisa “dimaafkan”
begitu saja. Menyinggung nama Pak Sakera dan Pangeran Trunojoyo, tidak
menghilangkan rasa pedas akibat judul tersebut begitu saja.
Tapi ya, sudahlah. Gelar pahlawan memang
relatif. Dulu, Pangeran Diponegoro, Kangjeng Kiai Adipati Suraadimenggala V
(Kangjeng Terboyo), Raden Saleh Lasem, dan lainnya, malah disebut pemberontak.
Imbasnya luas. Keturunan Pangeran Diponegoro selama berapa generasi tak
dicantumkan dalam buku besar silsilah keluarga Mataram. Begitu juga Kangjeng
Terboyo, salah satu sepupunya, bupati Majalengka bahkan tak menulis nama beliau
di silsilah keluarga besarnya.
Di masa jauh sesudah itu, pemberontak
juga mendapat stigma jelek hingga ke anak cucunya. Era daulatnya RI, yang
namanya sampul D, istilah berkas
hasil penelitian terhadap mereka yang terkait dengan PKI pasca 1965 juga menjadi identitas
buruk, bahkan hingga anak cucu mereka. Meski tentu untuk kasus kedua ini,
konteksnya beda. Sekadar mencari kesamaan imbas dari predikat pemberontak.
Sebenarnya kalau mau menunjuk pahlawan,
tanpa susah-susah sudah ada yang diakui pemerintah sebagai pahlawan. Namanya
bahkan menjadi identitas salah satu bandara terbesar di republik ini: Halim
Perdanakusuma. Perwira muda Angkatan Udara RI, kelahiran Sampang, bersusur
galur pada keluarga Wongsotruno di Sumenep, yang gugur saat menjalankan
tugasnya.
Namun mungkin yang dimaksud penulis dari
tulisan di atas itu, sosok yang heroik, berdarah-darah, adu fisik,
bedil-membedil, tombak-menombak, tusuk-menusuk, sekaligus bunuh membunuh dengan
kaum kompeni. Kalau pun dicari, juga ada. Madura punya nama Letnan R. Mohammad
Ramli dan K. H. Abdullah Sajjad, sedikitnya dua syuhada yang menjadi martir
pertiwi.
Itu kan masa pasca kedaulatan? Pra
kemerdekaan? Sumenep punya nama K. H. Abisyuja', tokoh pejuang yang bemarkas di
Kampung Banasokon Kebunagung. Pejuang-pejuang lainnya ada yang membangkitkan
semangat kebangsaan melalui tulisan. Ada Raden Werdisastra dengan Babad
Songennepnya, dan lainnya. Sebelum itu ada Patih Angabai Mangundireja, patih
Sumenep yang gugur di Loji. Di Bangkalan, alias Madura Barat, ada Pangeran
Cakraningrat IV, Kembangnga Nagara, yang dibuang hingga Cape Town, Afrika.
Tokoh yang bakal dibahas kiprahnya di tulisan ini.
Sepupu Trunojoyo
Darah kepahlawanan Trunojoyo, meski
'belum dipahlawankan', rupanya sama dengan darah sepupunya, Pangeran
Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat pada 1718-1746 M. Keduanya sama-sama
cucu Pangeran Cakraningrat I, Seda Ing Imagiri.
Ayah Trunojoyo, Raden Demang
Mlayakusumo (Demang Mlaja); dengan ayah Cakraningrat IV, Panembahan
Cakraningrat II, bersaudara. Sama-sama anak Cakraningrat I, dari ibu yang
berbeda. Ibu Cakraningrat II ialah Syarifah Ambami alias Ratu Ibu, dari
keluarga Giri Kedaton. Sedang ibu Demang Mlaja ialah Putri Mataram. Sebagian
penulis mengatakan berasal dari keturunan Jokotole di Sumenep.
Di luar kesamaan aliran darah
kebangsawanan sekaligus kepahlawanan, ada sedikit latar belakang perlawanan
keduanya terhadap bangsa penjajah. Trunojoyo dilatarbelakangi kebencian
terhadap keluarga bangsawan Mataram dan sekaligus Madura yang tunduk pada
Belanda. Menurutnya marwah kebesaran Mataram harus kembali. Sehingga adanya
peluang pada konflik antara putra mahkota Mataram dengan ayahnya, Amangkurat I,
dianggapnya sebagai jalan dalam perjuangannya.
Sedang Cakraningrat II meski juga tidak
senang pada Mataram, kendati penguasanya, Amangkurat IV adalah besannya,
awalnya bersikap lunak pada Belanda, dan memilih menjadi bawahan VOC dari pada
Mataram. Peluang konflik Mataram dengan Belanda dimanfaatkannya untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Mataram atas Madura Barat yang mulai berkembang
hingga beberapa daerah di Jawa Timur.
Menghadapi Cakraningrat IV tentu saja
Mataram tidak mampu. Sehingga puncaknya Cakraningrat IV bahkan berhasil
menduduki Kartasura.
Menyikapi itu, VOC meminta Cakraningrat
IV untuk menyerahkan kembali Kartasura. Di situlah kemudian terjadi angin
perubahan. Cakraningrat IV justru menolak, dan mengadakan perang terbuka dengan
VOC. Hal itu diawali dengan sikap tidak mengirim upeti lagi pada Belanda.
Belanda lantas mengajukan perundingan pada 1744. Langkah yang ditolak
mentah-mentah oleh Cakraningrat IV. Akhirnya, pada 1745, Belanda mengumumkan
bahwa Cakraningrat IV makar alias memberontak.
Awalnya VOC kewalahan menghadapi
Cakraningrat IV. Bahkan Cakraningrat IV mencoba meluaskan wilayah hingga Madura
Timur (Sumenep), namun gagal. Arus cerita pun berbalik. Cakraningrat IV mulai
terdesak oleh serangan Belanda, sehingga beliau memilih menyingkir dari Madura
Barat, dengan tujuan, Madura Barat masih tetap dipimpin keturunannya.
Cakraningrat IV pun menyeberang ke
Kalimantan. Di mana di sana salah satu putrinya menikah dengan Sultan
Banjarmasin. Namun ternyata menantunya mengkhianatinya. Cakraningrat IV
menyingkir dan bergabung dengan Inggris yang kebetulan berlabuh di Kalimantan.
Malang tak dapat ditolak, sang Nata
malah ditawan Inggris untuk selanjutnya diserahkan pada Belanda. Berakhirlah
lantas perlawanan Cakraningrat IV dan orang-orang Madura.
Cakraningrat IV lantas dibuang ke Cape
Town, Afrika Selatan. Beliau di sana hingga wafat. Orang Madura menyebut daerah
itu Kaap. Sehingga Cakraningrat IV pun dikenal dengan gelar anumertanya:
Pangeran Siding Kaap. Sepeninggal beliau, Madura Barat diserahkan kepada salah
satu putranya yang bergelar Panembahan Cakraadiningrat V alias Panembahan Sido
Mukti.
Selamat Hari Pahlawan!
Mf/Ng
2 Komentar
Kiblat sejarah indonesia adalah apa yg ditulis belanda yg penuh muatan politis kadang bangsa kita lebih percaya orang lain dripada bangsa sendiri khatta sekarang...lanjutkan Gus banyak yg musti diluruskan...
BalasHapusSiaap. Terima kasih supportnya.. salam Ngoser..
Hapus