Wali Negara Madura, R. A. A. Tjakraningrat (duduk di tengah). (Foto/NMVW-collectie) |
Ngoser.ID - Ibarat dua sisi mata uang, keunikan dan
Madura merupakan dua kata yang tak bisa dipisahkan. Banyak kalangan mengakui
bahwa pulau garam ini memang memiliki banyak keunikan. Salah satu keunikannya
ialah bahasa Madura.
Bahasa ini tidak hanya menjadi bahasa di pulau garam,
dengan empat kabupatennya. Ia juga melenggang ke wilayah tapal kuda. Praktis,
sedikitnya sekitar 10 kabupaten di Jawa Timur menggunakan bahasa ini. Sehingga
tak salah jika bahasa Madura merupakan bahasa terbesar di Nusantara selain
bahasa Jawa dan Sunda.
Di samping itu, ada lagi keunikan Madura yang hampir tak
dimiliki daerah lain di Nusantara. Madura tidak hanya mengalami satu peristiwa
kemerdekaan. Ia bahkan mengalami hal itu sebanyak tiga kali.
“Kali pertama jelas. Yaitu saat Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia (RI) tanggal 17 Agustus 1945,” kata R. B. Muhlis, salah satu
pemerhati sejarah di Kabupaten Sumenep pada Ngoser.ID.
Bahkan setelah jelas terlihat kesungguhan Madura menjadi
bagian RI dengan sikap patriotik yang ditunjukkan para putra terbaiknya. Tidak
sedikit juga menjadi bunga bangsa dan mengakhiri hidupnya di ujung bedil kaum
kafir Belanda. Di antaranya Letnan R. Moh. Ramli, Letnan R. Mertawijaya, Kapten R. Tresnawijaya, dan K. H. Abdullah Sajjad.
Namun Madura tampaknya memang menjadi primadona sejak
dahulu kala. Kendati sudah jelas kalah Belanda mencari peluang untuk duduk
kembali dengan cara memecah belah. Madura dianggap sebagai salah satu titik
penting yang perlu pecah dari RI.
“Akhirnya di awal-awal 1948 taktik Belanda berhasil,
Madura menjadi sebuah negara. Ditunjuk sebagai Wali Negara ialah Raden Adipati
Ario Cakraningrat. Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS)
dengan negara-negara bagian,” kata Muhlis.
Tanggal 20 Februari 1948, seperti dikatakan Muhlis, merupakan
saat pengakuan terhadap status negara Madura oleh Letnan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda. Saat itu memang terjadi pro-kontra khususnya di kalangan rakyat
Madura.
Pasalnya, hal itu dinilai sebagian kalangan justru
menguntungkan Belanda. Sebagai bagian dari politik pecah belah untuk melemahkan
kedaulatan RI. Tapi kemerdekaan kedua bagi Madura ini tetap tak terelakkan.
Meski begitu, hal tersebut tak berlangsung lama. Situasi
ini lantas disadari oleh rakyat sekaligus para petinggi Madura sebagai sesuatu
hal yang harus secepatnya diubah. Puncaknya, Wali Madura Cakraningrat sendiri
pada tanggal 28 Januari 1950 lantas menyerahkan kekuasaannya kepada DPR Madura.
Penyerahan itu sedikit alot. Karena DPR Madura menolak.
Parlemen lantas menganjurkan agar Wali Negara menyerahkan langsung pada RIS.
“Nah, tahun itu merupakan kemerdekaan ketiga Madura.
Yaitu dibubarkannya Negara Madura pada tahun 1950. Madura kembali bergabung
dengan RI,” tutup Muhlis.
Ng
0 Komentar