Foto lawas Labang Mesem di suatu masa. (Foto/Repro Istimewa) |
Ngoser.ID - Selanjutnya mengenai versi kedua, yakni soal
penyebutan labang mesem yang mengacu pada sikap raja saat melihat para isteri
dan putri serta dayang sedang mandi di Taman Sari, dari atas Loteng Labang
Mesem.
Versi ini dibantah oleh sedikitnya tiga orang pemerhati sejarah di Sumenep: RPM Mangkuadiningrat, RB Ja’far Shadiq, dan RB Hairil Anwar.
Versi ini dibantah oleh sedikitnya tiga orang pemerhati sejarah di Sumenep: RPM Mangkuadiningrat, RB Ja’far Shadiq, dan RB Hairil Anwar.
Menurut Mangkuadiningrat, salah satu sesepuh di kalangan
keluarga keraton Sumenep saat ini, belum ada satupun riwayat kuna yang
menceritakan hal itu.
”Asal-usul penamaan Labang Mesem dari kisah tersebut baru saya dengar. Terasa aneh. Kalau riwayat tutur sesepuh turun-temurun, tidaklah demikian,” kata Mangku, beberapa waktu lalu.
”Asal-usul penamaan Labang Mesem dari kisah tersebut baru saya dengar. Terasa aneh. Kalau riwayat tutur sesepuh turun-temurun, tidaklah demikian,” kata Mangku, beberapa waktu lalu.
Ja’far Shadiq dan Hairil Anwar juga menilai versi tersebut
tidak mengakar pada sumber keraton. Apalagi jika dilihat dari segi etika, hal
itu tidak mencerminkan sikap raja dinasti terakhir yang dikenal banyak yang
alim dan berakhlak baik.
Salah satu pemerhati sejarah lain, Imam Alfarisi menilai
info yang demikian merusak citra penguasa Sumenep kala itu.
Imam senada dengan Ja’far dan Hairil, yang ketiganya merupakan satu tim di Ngoser (Ngopi Sejarah), bahwa hal itu sama sekali tidak menunjukkan karakter raja dinasti terakhir.
Imam senada dengan Ja’far dan Hairil, yang ketiganya merupakan satu tim di Ngoser (Ngopi Sejarah), bahwa hal itu sama sekali tidak menunjukkan karakter raja dinasti terakhir.
”Dinasti Bindara Saut, yang di dalamnya ialah Panembahan
Sumolo dan Sultan Abdurrahman adalah penguasa-penguasa yang alim dan sekaligus
arifbillah, serta menjunjung etika tinggi. Versi tersebut cenderung seolah-olah
mengedepankan sisi syahwati,” katanya.
Nah, bagaimana dengan versi ketiga? Seperti versi pertama
di tulisan bagian pertama, perihal kejadian Raja Bali mendadak luruh amarah dan
dendamnya ketika sampai gerbang keraton, mungkin tak perlu dibahas panjang
lebar.
Hal yang lebih luar biasa dari kejadian itu lebih banyak.
Seperti kisah kuda terbang milik Jokotole misalnya, atau perahu terbang milik
Dampo Abang (Awang). Membahasnya karena faktor tidak percaya versus percaya
tentu hanya akan membuang energi.
Lantas versi ini apa pasalnya? Masalahnya, perang
Sumenep-Bali lebih awal lagi dari masa Pangeran Jimat, sandaran versi pertama
sebutan Labang Mesem.
Perang itu terjadi di masa Pangeran Lor dan Pangeran Wetan I, anak Tumenggung Kanduruhan. Keduanya merupakan penguasa kembar Sumenep yang memerintah 1562-1567 M. Untuk kedua kalinya, dengan terpaksa, dan dengan sendirinya, versi ini juga selesai.
Perang itu terjadi di masa Pangeran Lor dan Pangeran Wetan I, anak Tumenggung Kanduruhan. Keduanya merupakan penguasa kembar Sumenep yang memerintah 1562-1567 M. Untuk kedua kalinya, dengan terpaksa, dan dengan sendirinya, versi ini juga selesai.
Kemudian, apa tak ada “versi” lain yang lebih bisa dijadikan
acuan? Ada dua versi.
Menurut Mangkuadiningrat, penamaan Labang Mesem karena dahulu, di dalam keraton, posisinya lurus dengan pintu masuk utama tersebut, ada arca menghadap ke Selatan.
Menurut Mangkuadiningrat, penamaan Labang Mesem karena dahulu, di dalam keraton, posisinya lurus dengan pintu masuk utama tersebut, ada arca menghadap ke Selatan.
”Arca itu digambarkan tersenyum. Maknanya tamu yang masuk
keraton dihadiahi senyuman yang disimbolkan oleh arca. Juga ketika hendak
pulang, tamu yang juga melintas Labang Mesem juga mendapat senyuman patung
kecil di Loteng Labang Mesem. Menurut cerita sesepuh keraton, begitu,” ujar
Mangku.
Versi acuan kedua?
”Ada riwayat dari desa Sendir. Dahulu, ketika Bindara Saot
memanggil kedua putranya yang ada di Lembung untuk menghadap ke keraton.
Terjadi adegan mengharukan, karena ayah-anak lama tak jumpa. Keduanya pun
sama-sama melempar senyum," cerita Imam Alfarisi.
Nah, di lokasi pertemuan itu, lanjut Imam, lantas oleh Panembahan Sumolo diabadikan dalam bentuk Labang Mesem di keraton yang dibangunnya.
"Tujuannya untuk mengenang peristiwa dengan ayahnya di masa lampau itu,” jelas Imam.
Nah, di lokasi pertemuan itu, lanjut Imam, lantas oleh Panembahan Sumolo diabadikan dalam bentuk Labang Mesem di keraton yang dibangunnya.
"Tujuannya untuk mengenang peristiwa dengan ayahnya di masa lampau itu,” jelas Imam.
Kedua versi itu tentu saja tidak menyisakan ganjalan, baik
secara etika maupun yang sifatnya anakronisme. Apa lantas itu yang paling
benar?
Tentu siapapun saat ini tidak bisa memberi jaminan atau
bukti, karena tidak mengalami masa ratusan tahun silam. Namun dari kedua versi
itu setidaknya bisa dipetik pelajaran baik, dan yang lebih penting lagi ialah,
bagaimana kita melestarikan warisan budaya luhur para pendahulu, baik yang
berupa bendawi maupun tak benda. Jas Merah! (habis)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Mata Madura dengan
Judul “Menelusuri Makna Labang Mesem: Meluruskan Perspektif”
MM/Ng
0 Komentar