KRT Zainalfattah Notohadikusumo, Sejarawan Legendaris Madura sekaligus Bupati KDH Tingkat II Pamekasan tahun 1942-1951. (Foto/Repro Istimewa) |
Ngoser.ID - SAYA baru tahu Zainalfattah, tepatnya mengenal nama tersebut, saat kelas VI SD. Ketika itu saya mendapat pinjaman dua buah buku dari teman sekelas, milik ayahnya. Buku Babad Sumenep edisi alih bahasa Indonesia, dan sebuah buku sejarah tentang Madura. Zainalfattah itu penulis buku. Namanya tertera di daftar pustaka salah satu buku yang saya pinjam tersebut.
Kedua buku itu memang mencatumkan literatur. Padahal
salah satunya babad. Meski belakangan ketika saya kenal dengan buku babad sama
yang memakai bahasa Madura huruf latin, sama sekali tak ada daftar pustakanya.
Naskah awal buku Babad Sumenep itu bahkan berhuruf
carakan. Ditulis pada 1914, oleh Raden Werdisastra. Kemungkinan tak pakai juga
rujukan pustaka. Kebetulan saya belum pernah melihatnya. Akhirnya saya paham,
pencantuman daftar pustaka di edisi alih bahasa babad itu karena penerjemah
memberi catatan di luar naskah asli.
Sedikit kisah, saya hobi belajar sejarah. Semua yang
berbau sejarah, baik sejarah sebagai seni maupun sebagai ilmu. Bacaan saya
banyak yang berkisar sejarah. Soal genealogi, asal-usul tokoh, baik
pemerintahan atau non pemerintahan, pra Islam sampai masuknya Islam. Termasuk
juga cerita rakyat (folklore) saya lahap.
Karena saya orang Madura, tentu sejarah Madura masuk
dalam bidikan utama hobi saya itu. Tapi saya hanya peminat saja. Sekadar suka.
Kesannya tanggung, tidak serius. Buktinya, saya juga tidak mengambil jurusan
ilmu sejarah saat kuliah dulu.
Mungkin jika saya kuliah di jurusan itu, saya sudah
menjadi sejarawan. Paling tidak dosen atau guru sejarah, atau peneliti
sejarah, dan sekaligus penulis beberapa buku tentang sejarah. Atau paling
sedikitnya menjadi pemateri di beberapa diskusi soal sejarah, dan paling
sedikitnya lagi menjadi pemerhati yang lidahnya sering “dipinjam” para penulis
berita, artikel, dan atau jurnal tentang sejarah. Ini menurut pikiran saya
belaka. Hanya dalam angan dan angin lalu saja.
Kembali pada Zainalfattah. Awalnya saya ingin memberi
judul tulisan ini “Membela Zainalfattah”. Kenapa harus dibela? Ya, karena
beliau bukan Tuhan. Tapi mahluk. Yang namanya mahluk pasti lemah. Jadi perlu
dibela, mengutip Gus Abdurrahman Addakhil alias Gus Dur. Meski beliau
sebenarnya tidak pernah meminta dibela. Terutama pada saya pribadi.
Tapi sebagai generasi yang suka sejarah dan membaca
beberapa karya beliau, saya perlu setidaknya berterima kasih. Atas beberapa
karyanya yang oleh beberapa kalangan dianggap karya kurang bermutu,
rang-ngarang, karena tanpa dilengkapi daftar pustaka seperti buku-buku jaman
now; yang kata orang sekarang disebut ilmiah sebab memasang daftar pustaka saja
hingga berhalaman-halaman.
Tapi saya lantas mengurungkan niat untuk “membela” itu.
Terkesan heroik, dan agak berlebihan. Cukup berterima kasih saja. Sederhana,
tapi justru yang memang malah sering diabaikan sebagian orang.
Eh, rupanya saya terlalu banyak ngoceh. Hingga hampir
lupa menjelaskan siapa Zainalfattah. Saya hanya punya sekelumit informasi soal
beliau. Info yang terserak, karena bukan satu sumber. Bisa jadi masih belum
utuh. Tapi saya coba susun semaksimal mungkin.
Zainalfattah lahir dan berasal dari Pamekasan. Putra
pertama dari 4 bersaudara, dari pasangan Raden Ario Pratamingkusumo (Moh.
Ishaq) dan Raden Ayu Rakiba. Dari situ sudah bisa dipahami bahwa beliau berasal
dari kalangan bangsawan elit. Pratamingkusumo, ayah beliau, merupakan cucu
Panembahan Mangkuadiningrat, penguasa Pamekasan yang wafat di bulan Maret 1842.
Tak ada catatan di Madura tentang masa kecil dan riwayat
pendidikan Zainalfattah. Beberapa sesepuh di Sumenep, misalnya, hanya mengenal
beliau sebagai sosok yang cerdas dan berpengetahuan luas. Meliputi bidang
agama, politik, budaya, dan tentunya sejarah itu sendiri. Termasuk
penguasaannya di bidang bahasa, seperti Arab, Inggris, dan Belanda. Ada juga
embel-embel yang sifatnya mistis. Konon, Zainalfattah juga disebut sebagai
sosok waskita dan linuwih.
Sebagai bangsawan, Zainalfattah memang memungkinkan untuk
berproses dalam keilmuan. Hal itu juga yang lantas mengantarkan beliau ke kursi
bupati Pamekasan di era sebelum dan di masa awal kedaulatan RI. Masyarakat Madura menyebut beliau
Kangjeng Zainal. Nama lengkapnya ialah Kangjeng Raden Tumenggung Ario
Zainalfattah Notoadikusumo. Beliau juga berperan saat Madura berubah status
sebagai Negara. Kiranya sampai di sini sejenak gambaran tentang sosok
Zainalfattah.
Meski berasal dari strata sosial atas, baik secara nasab
dan kedudukan, Zainalfattah merupakan satu di antara sedikit kaum bangsawan
kala itu yang sempat-sempatnya berkarya. Di tengah dimanjanya kalangan
bangsawan Madura dengan tunjangan bulanan pasca pencabutan hak atas tanah
miliknya, hampir mayoritas dari golongan ini dilemahkan secara intelektual.
Kendati berhak sekolah seperti anak-anak kolonial, namun
lulusan bangsawan yang jadi pegawai pemerintahan, otomatis tunjangan
kebangsawanannya dicabut, diganti gaji kantoran yang nominalnya jauh lebih
kecil. Akhirnya banyak anak-anak bangsawan yang memilih tidak sekolah. Dan
menjadi korban politik pembodohan bangsa kolonial. (bersambung)
RM Farhan/Ng
0 Komentar