KRT Zainalfattah Notohadikusumo, Sejarawan Legendaris Madura sekaligus Bupati KDH Tingkat II Pamekasan tahun 1942-1951. (Foto/Repro Istimewa) |
Ngoser.ID - Kesibukan Zainalfattah sebagai bupati rupanya tidak membuat
ia larut dalam kondisi politik RI yang tak menentu dan masih belum
stabil kala itu. Salah satu karyanya yang cukup fenomenal ialah buku tentang Madura
setebal 243 halaman. Ditulis pada 1951.
Buku itu diberinya judul “Sedjarah Tjaranja Pemerintahan
di Daerah-daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannja”. Sekaligus buku ini
pula yang kini (setelah dibaca tentunya), dikritik hingga dicerca oleh sebagian
kalangan. Dianggap distorsi, membingungkan, sarat dengan kesalahan, dan tak
layak disebut sebagai karya tentang sejarah.
Seorang kenalan bercerita pada saya. Suatu ketika ia
didapuk sebagai pemateri diskusi sejarah. Saat mengutip Zainalfattah, ada
peserta diskusi yang menyanggahnya. Peserta itu mempertanyakan orang yang
mengutip karya Zainalfattah. Alasan peserta itu, buku Zainalfattah tak lebih
dari sekadar kisah tutur, bukan sejarah, dan secara ilmiah tertolak!
Terus terang, saat mendengar cerita itu saya hanya bisa
mengurut dada sendiri. Zainalfattah jelas tak bisa membela karyanya. Jasad
beliau sudah lama bersemayam di Botoputih, Surabaya, yang berdasar keterangan
di pasarean, beliau wafat 25 Januari 1961 silam.
Karya Zainalfattah memang tidak sempurna. Begitu juga
karya-karya lainnya. Bahkan di ranah literasi Islam klasik, karya-karya ulama
terdahulu juga begitu. Karya-karya dahulu juga hampir tidak pernah dilengkapi
daftar pustaka.
Mengutip hadits terkadang cukup matannya saja. Para
murid, pengikut, bahkan ulama lainnya tak ada yang mempertanyakan hal itu.
Mereka sudah tahu akan tingkat keilmuan penulis kitab. Kepribadiannya, akhlaq
mulianya, dan kebaikan-kebaikannya. Di situlah cerminan akhlaq dan adab yang
diajarkan kalangan shalih terdahulu.
Mereka tidak hanya menghargai karya, namun dengan penuh
kerendahan hati; sami’na wa atho’na. Mereka yakin para guru mereka yang
mengajarkan dan menulis kitab klasik itu tidak akan menjerumuskan mereka. Di
satu sisi mereka juga tidak memaksa orang lain agar bersikap sama. Dan
kitab-kitab klasik itu tetap menjadi rujukan hingga detik ini.
Nah, kini sebaliknya, baru hafal al-Qur’an juz 30 sudah
berani menghantam pendapat ulama yang hafal 30 juz. Hanya tahu baca kitabnya
Imam Bukhari saja bahkan sudah berani “menyaring” kumpulan hadits shahih
tersebut. Padahal proses penulisan kitab itu oleh Sang Imam dulu luar biasa
perjuangannya.
Begitu pula kini, baru tahu baca buku terjemahan kitab
fiqh, sudah berfatwa ke mana-mana. Dan dalam konteks sejarah, baru membaca
beberapa buku “ilmiah” sudah seenaknya menyanggah tulisan pendahulunya. Bagus
kalau menyanggah dengan karya atau mengkaji, sehingga ada semacam uji pendapat.
Yang tidak elok saat sekadar mencela, namun tidak bisa membuat karya serupa.
Mungkin perlu direnungkan sejenak, periode Zainalfattah
dengan generasi saat ini jelas tak sama. Akses informasi tidak sekilat saat ini
yang eranya mbah Google. Alat transportasi sekaligus sarana prasarana (sarpras)
juga tak semulus masa kini.
Kertas, tinta, mesin ketik juga tak mudah menjangkaunya.
Mesin cetak penerbit juga langka. Penerangan atau lampu juga nyaris tak semudah
kini yang tinggal klik. Sehingga tulisan yang disajikan juga apa adanya.
Sebatas informasi awal. Dan itu jelas berguna bagi generasi berikutnya.
Tokoh-tokoh seperti Zainalfattah ibarat penyulut lentera
akan gelapnya informasi seputar Madura kala itu. Tulisan-tulisan yang kaya,
sejatinya. Ada cerita rakyat, mitos, legenda. Ada juga yang otentik seperti
prasasti, catatan-catatan, surat-menyurat formal dan nonformal. Sehingga di
situ pembaca diberi keleluasaan: mana yang perlu diambil sebagai sesuatu yang
sifatnya ilmu, dan atau sesuatu yang bersifat seni.
Saya teringat dengan kata-kata salah satu sahabat yang
masih kerabat: cara kerja sejarawan bukan tidak meyakini karya sebelumnya,
tapi melakukan penelusuran lebih dalam dari karya-karya masa lalu. Nah, ia
lantas melanjutkan, bisa jadi penelusuran itu malah menguatkan karya-karya
sebelumnya itu.
Luar biasa jika hal ini benar-benar dipahami oleh
generasi masa kini, khususnya yang memiliki minat dan giat terhadap sejarah
Madura. Saya yakin bukan hanya akan berterima kasih, pada salah satunya
Zainalfattah, namun bahkan akan membelanya (baca: karyanya) ketika diusik oleh
mereka-mereka yang tidak menghargai karya orang lain.
Akhir kalam, mustahil seseorang akan menjadi penulis yang
baik jika ia bukanlah pembaca yang baik. Sebagaimana mustahil ia akan
menghasilkan karya yang baik selama ia tidak bisa menghargai karya orang lain.
Salam. (habis)
Tulisan ini pernah
dimuat di Majalah Mata Madura dengan Judul “Berterima kasih Pada Zainalfattah”
RM Farhan/Ng
1 Komentar
Alhamdulillah Berkah Barokah Aaaamiiin Yaa Rabb... Terus terang para peneliti Madura masih berpegang pada buku ini... Pada tahun 1977 ketika masih di SMAN 1 Bangkalan Saya ikutan Lomba menulis Cerita/Legenda Rakyat... dan menang sampai ditingkat Nasional Judulnya Ki Pragalbo Pangeran Islam Onggu' dan sampai sekarang menjadi Hak patennya Balai Pustaka... ✍️👏🙋
BalasHapus