Kolase potret makam Pangeran Diponegoro di Sumenep. (Foto/Koleksi Facebook Ahmad Mansur Suryanegara) |
Ngoser.ID-Kurang
lebih satu tahun yang lalu, saat saya diwawancarai secara eksklusif oleh
seorang jurnalis muda. Muda saja, bukan muda banget. Topiknya seputar kisah lokasi
makam Diponegoro di Sumenep yang kontroversial.
Jurnalis bertanya, saya menjawab. Jawaban saya sederhana,
biarkan saja versi itu hidup dan menjadi warisan kearifan lokal yang tak perlu
didebat. Karena Yang Maha Tahu hanya satu. Dan siapapun yang masih hidup saat
ini tidak mengalami masa peristiwa terkait.
Cukup percaya saja atau tidak percaya an sich. Satu sama
lain hanya perlu saling menghormati. Mendebatnya bisa menguras energi, dan
mungkin mempercepat datangnya mati. Santai sambil mikir, dan berpikir dengan
santai.
Bicara percaya, jelas saya percaya kuburan yang ada di
belakang Asta Tinggi itu. Bukan tanpa alasan. Riwayat itu datangnya dari
keluarga keraton Sumenep sejak zaman doeloe. Keluarga yang menjadi akar keluarga saya
dan para famili.
Mempercayainya sebagai bentuk penghormatan pada leluhur. Mendustakannya
bermakna menuduh mereka tidak jujur. Hal ini, maaf, tak dapat didebat.
Suatu hari, sebuah notifikasi WhatsApp berbunyi. Pesan dari
seberang sana dari seorang kerabat dekat. Statusnya masih paman saya. Isinya,
dia mau cerita tentang sebuah kisah di tahun 1982-1983. Saat ia masih menjadi
mahasiswa. Diajak pulang dosen terbang bernama Hub de Jonge.
“Kita bertiga, Hub, saya, dan asistennya Hub. Kita ke
Asta Tinggi. Saya dijadikan penunjuk jalan. Hub bawa catatan dari negerinya,
Belanda. Catatan itu memuat peta-peta kuna. Salah satunya peta mengenai
keberadaan sebuah makam di luar pagar kompleks utama Asta Tinggi,” kata paman
saya itu.
Hub lantas mewanti-wanti agar paman saya off the record
mengenai sosok yang disemayamkan di dalam makam itu. Hub menegaskan bahwa di
situlah makam sebenarnya sosok Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa
1825-1830.
Sekitar 3 tahun setelah itu, Sumenep diramaikan dengan
penemuan nisan dan makam asli Pangeran Diponegoro. Kejadiannya sekitar masa
pemugaran makam Diponegoro di Makassar.
“Kini, setelah sekian lama, saya bersedia andai dipertemukan
dengan Hub. Terkait kenangan di awal ’80-an itu,” tegas paman saya.
Kebenaran memang tak perlu menang. Dan dalam hal ini,
meminjam pesan salah satu sesepuh Sumenep: “Banne arebbu’ mennang, keng coma
ajellasagi se sabenderra” (bukannya merebut menang, hanya mencoba menjelaskan
yang sebenarnya). Wa Allahu a’lam.
Catatan: RM Farhan
Ngopi Sejarah
0 Komentar