Ngoser.ID - Sejarah
Sumenep dimulai dari kisah-kisah yang termaktub dalam folklore dan riwayat
tutur turun-temurun. Kisah itu lantas diuji lebih mendalam dengan melakukan
kajian yang didasarkan pada kaidah-kaidah ilmiah.
Bicara soal folklore dan riwayat
turun-temurun, sedikit sekali yang dirangkum atau dikumpulkan secara utuh.
Apalagi di zaman lampau, tidak seperti masa kini. Kertas, tinta, dan mesin
cetak tentu tidak mudah dan tidak semuanya tersedia. Namun semangat dan ketekunan
para sejarahwan tempo doeloe patut diacungi ribuan jempol.
Beberapa karya tempo doeloe masih masih
dinikmati di masa kini. Padahal proses untuk menyusunnya tidaklah mudah.
Apalagi dominasi Kolonial masih terasa kuat meski mulai melemah seiring
berjalannya waktu dan perlawanan-perlawanan yang sifatnya lokal.
Nah, kembali pada sejarah Sumenep, salah
satu buku kuna yang biasa dijadikan rujukan awal ialah Babad Songennep (Babad
Sumenep).
Buku Babad Songennep merupakan peninggalan
salah satu tokoh Keraton Sumenep yang memuat perjalanan Kabupaten di ujung
Timur Nusa Garam. Buku tersebut ditulis oleh seorang jenius bernama Raden
Werdisastro.
Bersusur galur pada Tokoh Agung
Werdisastro lahir di Sumenep dengan nama
Raden Musa’ed. Menurut satu versi, Musa’ed adalah kependekan dari Muhammad
Sa’ed. Jadi jika ditulis lengkap ialah Raden Muhammad Sa’ed.
Nama Werdisastro merupakan gelar yang
diberikan penguasa Sumenep atas jasa-jasanya mengabadikan riwayat tutur ke
dalam tulisan babad. Tulisan yang selesai pada 1914 dalam rupa bahasa Madura
tulisan carakan.
Gelar Raden di depan nama Musa’ed
Werdisastro menunjukkan identitasnya sebagai anggota keluarga bangsawan.
Berdasar catatan, Raden Werdisastro adalah cicit Raden Atmologo II (Raden
Sukari).
“Raden Atmologo II adalah salah satu putra
Raden Wongsokusumo I, Patih Sumenep,” kata I Bagus Salam, salah satu kerabat
Raden Werdisastro.
Raden Wongsokusumo I adalah putra Raden
Tumenggung Ronggo Kertaboso Pratalikromo, Hoofd Jaksa Sultan Sumenep.
Pratalikromo merupakan tokoh penting yang membantu Sultan Abdurrahman dalam
menerjemahkan prasasti kuna yang ditemukan Rafflesh di Bali.
Pratalikromo berasal dari keluarga elit
bangsawan keraton sejak masa sebelum dinasti terakhir. Kakeknya, Raden Entol
Anom alias Raden Onggodiwongso, seorang ronggo atau patih Sumenep yang dikenal
dengan sebutan Patih Ronggodiboso. Sang patih merupakan cikal-bakal bangunan
Rumah Panggung di Sumenep. Sedangkan paman dari Pratalikromo, Raden Demang
Wongsonegoro ialah tokoh penting dalam berdirinya dinasti Bindara Saot.
Jika ditarik ke atas, Raden Entol Anom
adalah salah satu putra Raden Sutojoyo, tokoh terkenal di kawasan pesisir
utara. Sutojoyo berkuasa di wilayah Sotabar. Konon, keraton Sumenep banyak
membutuhkan beliau khususnya dalam hal keamanan teritorial.
Sutojoyo dikenal sebagai tokoh yang
disegani, ditakuti, dan dihormati di Sumenep-Pamekasan.
Ayah Sutojoyo adalah Pangeran Macan Alas
Waru. Pembabat bumi Waru, yang menurunkan tokoh-tokoh ulama dan umara di
Pamekasan hingga tapal kuda.
Pangeran Macan Alas adalah anak Pangeran
Saba Pele, Panembahan Sampang.
Dalam naskah keluarga Rumah Panggung, dan
catatan RB Mahfudh Wongsoleksono, Pangeran Saba Pele adalah putra Raden Adipati
Pramono, Sampang.
Pangeran Saba Pele tercatat sebagai adik
Panembahan Ronggosukowati, Pamekasan. Tokoh ini identik dengan Pangeran Adipati
Pamadekan, atau Pangeran Langgar.
Dalam catatan Jawa, Pangeran Langgar
disebut sebagai salah satu menantu Sultan Trenggana, Demak.
Populer pasca ditinggal wafat
Dalam pengantar bukunya, Raden Werdisastra
memulai menulis babad pada tanggal 14 Februari 1914. Di masa itu Sumenep berada
di bawah kepemimpinan Pangeran Ario Pratamingkusumo alias Abdul Muhaimin (wafat
1926).
Buku tersebut dibagi menjadi 3 bab. Pertama
kali Werdisastra menulisnya dengan menggunakan bahasa Madura huruf Jawa. Lalu
sempat ditulis ulang atau disalin ke bahasa Madura huruf latin. Namun hanya
selesai sebagian, karena beliau berpulang saat upaya tersebut belum rampung.
Werdisastra wafat pada hari Ahad, 27 Mei
1956, bertepatan dengan 18 Syawal 1376, pukul 15.30. Jenazahnya dimakamkan di
Asta Tinggi Sumenep, di kompleks pemakaman keluarga Raden Adipati Pringgoloyo.
Sepeninggal Werdisastra, upaya tersebut
dilanjutkan oleh Moh Waji Sastrawijaya, yakni disalin ke tulisan latin. Upaya
itu dimulai pada 20 Maret 1971.
Moh Waji adalah anak Raden Sastrawijaya,
kerabat Raden Werdisastra yang juga membantu penyusunan Babad Songennep.
Di kemudian hari, buku legendaris tersebut
dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, oleh Moh Thoha Hadi pada 1 Maret 1996.
Ng (Tulisan ini pernah ditayangkan di
Mata Madura)
0 Komentar