Litografi sebuah kampung Pecinan pada masa Hindia Belanda, oleh Josias Cornelis Rappard, 1883-1889. (Sumber: Collectie Tropenmuseum) |
Ngoser.ID - Abad
18 bisa dikata merupakan puncak kejayaan Keraton Sumenep. Namun juga merupakan
awal dari keberadaan dinasti terakhir Madura Timur. Dinasti yang dibuka oleh
pendatang baru dalam sejarah keratonisasi, tak hanya di Sumenep, melainkan juga
di seluruh kawasan Madura. Mengakar pada tokoh kiai kampung yang menorehkan
banyak karya monumental dalam sepanjang sejarah peradaban sekaligus
pemerintahan kuna di bumi Sumekar.
Dinasti terakhir (1750-1929) yang dibuka
oleh Bindara Saot ini tidak hanya menjadi simbol kejayaan Sumenep, namun juga
tercatat sebagai penjunjung tinggi humanisme. Menerima perbedaan, tak hanya
dari status suku, ras, bahkan agama. Ketika Jawa dan Batavia memanas karena
urusan ras dan agama, di Sumenep justru menjadi sasaran pelarian banyak imigran
gelap tanpa masalah. Bahkan satu di antara imigran gelap dan asing itu
dijadikan mutiara oleh sang Nata.
Bermula dari Kepanjin
Sebagai tokoh pemimpin yang alim dan
berlatar belakang keluarga Umara, Bindara Saot alias Tumenggung Tirtonegoro
dikenal begitu dekat dengan rakyat. Beliau biasa berjalan kaki dari keraton
lama ke Masjid Laju di Kapanjin, tanpa ditandu. Bahkan tak jarang saat beliau
keluar dari keraton tidak begitu menarik perhatian. Rakyat kadang hanya
menyangka sebagai seorang bangsawan biasa, bukannya terlihat sebagai seorang
adipati sang junjungan.
Apalagi orang asing, seperti Lauw Piango
kecil, cucu semata wayang seorang pelarian Cina beragama Konghucu. Pia, begitu
panggilan lelaki cerdas bermata sipit dan berkulit kuning itu, bahkan tak
menyangka saat suatu hari ia diajak ke pendapa keraton oleh seorang “raja”.
Baca Juga: Mutiara Kate, Jejak Kakek Arsitek Masjid Jami' Sumenep
Ketika itu, Tumenggung Tirtonegoro hanya
bermaksud menyampaikan sebuah pesan kemanusiaan, bahwa dalam urusan muamalah
semua orang bisa berinteraksi dengan santun.
Saat dipanggil sang Nata, Pia dan kakeknya
sempat was-was akan diusir atau dipenjara. Ternyata Tirtonegoro malah
memberikan pekerjaan dan pinjaman tanah sekaligus tempat tinggal di kawasan
Kepanjin. Dari pertemuan singkat di paseban keraton, sebuah ide besar lahir:
Tumenggung Tirtonegoro ingin membangun sebuah masjid dengan menggabungkan corak
Jawa-Arab-Cina-sekaligus Eropa.
Ide Yang Berlanjut dan Berwujud
Sayang, Bindara Saot alias Tumenggung
Tirtonegoro, tokoh yang betul-betul terpatri di jiwa Piango dan kakeknya itu
hanya sebentar singgah dalam masa awal kehidupan kedua pelarian Cina tersebut
di Sumenep. Pia harus menangis tersedu-sedu saat sang adipati bersahaja itu
mangkat pada tahun 1762. Menyisakan kenangan indah sekaligus ide besar yang
dititipkan di pundak mereka.
Pengganti Bindara Saot adalah Raden Ario
Atmojonegoro yang bernama kecil Asiruddin. Seorang tokoh yang dikenal keras dan
tegas. Kealimannya dalam hal agama tidak diragukan. Sehingga beliau tak hanya
menjadi jujukan dalam hal pemerintahan, namun sekaligus juga dari sisi
keagaaman.
Sempat merasa was-was, jangan-jangan sang
pengganti tak sama dengan ayahnya, Piango dan kakeknya hanya pasrah jika suatu
saat mendapat nasib yang buruk. Namun semua itu buyar berganti kegembiraan.
Asiruddin yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Panembahan Sumolo itu juga
berkarakter sama seperti ayahnya. Lembut. Namun tetap tidak kehilangan
ketegasannya. Meski juga kental dengan sisi ksatrianya; pemberani dan keras
dalam menjunjung kebenaran.
Panembahan Sumolo rupanya tidak melupakan
ide sang ayah. Beliau juga tidak lupa bahwa sang ayah menaruh perhatian pada
keahlian yang dimiliki Piango. Benih arsitektur tumbuh pesat di diri Piango,
yang tak berapa lama ditinggal pergi sang kakek untuk selamanya.
Sama seperti di masa Bindara Saot, Piango
kembali dihadirkan ke pendapa. Membahas sebuah pekerjaan besar. Membangun
masjid agung dan megah. Saat itulah terjalin kolaborasi ide dua laki-laki
berbeda status itu.
Piango merasa mendapat kehormatan besar.
Sang Panembahan menjadikannya sebuah mutiara, kendati ia berasal dari bangsa
asing yang lemah di negeri orang. Pia pun bersumpah untuk setia dan taat pada
junjungannya. Ia pun berikrar Sumenep sebagai tanah airnya.
Kolaborasi ide itu pun terwujud. Tak hanya
Masjid Jami’ Sumenep, melainkan juga bangunan keraton yang masih berdiri kokoh
hingga detik ini. Menyisakan kisah-kisah teladan tentang seorang penguasa yang
tak membeda-bedakan rakyatnya.
“Panembahan Sumolo dan Bindara Saot bisa
dikata simbol seorang pemimpin yang fair. Tidak menunjukkan kelebihannya
sebagai junjungan banyak orang. Beliau berdua simbol kearifan. Setiap orang,
siapapun ia, akan dihargai keahliannya. Bahkan seorang asing pun tidak lagi
menjadi asing. Justru dijadikan berharga,” kata RB Muhlis, seorang pemerhati
sejarah di Sumenep.
(Tulisan ini pernah dimuat dengan judul
berbeda di matamaduranews.com tanggal 2 Januari 2020)
MM/Ng
0 Komentar