Ilustrasi duel seni bela diri silat di Nusantara. (Sumber: metrum.co.id)
Ngoser.ID – Sumenep
memiliki banyak tradisi dan budaya yang sudah mulai tenggelam dan hampir punah.
Seperti misalnya seni bela diri khas keluarga keraton dahulu, yang dikenal
dengan sebutan jurus Langkah Empat. Jurus ini diciptakan oleh Raden Ahmad
Banjir alias Pangeran Adipati Suryokusumo.
”Raden Banjir ini adalah cucu Sultan
Abdurrahman Sumenep, dari pihak ibunya. Sedang dari pihak ayah, beliau ialah
cucu Panembahan Mangkuadiningrat, Pamekasan,” kata R. P. Zainal Abidin, salah
satu pemerhati budaya Sumenep yang banyak paham tentang Langkah Empat, pada ngoser.id,
beberapa waktu silam.
Kenapa disebut langkah empat? Menurut
Zainal, karena seni bela diri ini bergerak dalam bentuk bujur sangkar
imajinatif yang setiap sisinya tak sampai satu meter.
”Jadi ini perkelahian jarak dekat, sehingga
titik tekannya pada kecepatan maksimal dan kelihaian anggota badan untuk
menghindari serangan lawan,” jelas Zainal.
Di jaman lampau, seni beladiri khas keraton
ini menjadi jujukan banyak pendekar di berbagai penjuru untuk mempelajarinya.
Namun, kini seni beladiri ini sudah hampir punah, karena banyak penerus seni
bela diri ini yang sudah wafat.
”Hampir tidak ada regenerasi. Mungkin
karena ini juga seni bela diri kalangan bangsawan yang dulu merupakan kalangan
elit,”tutur Zainal.
Mengenal Sang Pencetus, dan Duel dengan
Pendekar Asing
Seperti disebut di muka, seni bela diri
langkah empat merupakan buah karya Raden Ahmad Banjir alias Pangeran Adipati
Suryokusumo. Seni beladiri ini di jaman lampau merupakan seni tarung yang
langka. Gerakannya terpusat pada area bujur sangkar imajinatif yang setiap
sisinya kurang dari satu meter. Lalu siapa Raden Banjir ini?
”Raden Banjir ialah putra dari Pangeran
Ario Prawiroadiningrat, anak sulung Panembahan Mangkuadiningrat, Pamekasan.
Ibunya ialah Ratu Afifah, putri sulung Sultan Abdurrahman Pakunataningrat,
Sumenep,” kata R. P. Mohammad Mangkuadiningrat, salah seorang pemerhati sejarah
di Sumenep, dan sekaligus cicit Raden Banjir.
Menurut Mangku, Raden Banjir lebih banyak
dekat dengan keluarga ibunya. Apalagi setelah ayahnya mangkat lebih dulu.
Padahal Pangeran Prawiro, ayahnya itu, sudah dicalonkan sebagai Bupati
Pamekasan menggantikan Panembahan Mangkuadiningrat setelah wafatnya. Namun,
posisi adipati tetap diberikan kepada Raden Banjir. Bahkan, ia dilantik saat
masih di bawah umur atau belum dewasa. Peristiwa itu terjadi pada bulan
November 1842 Surat Ketetapan Nederlandsch Indische Regeering. Surat
Ketetapan itu sendiri baru diresmikan pada 1853.
”Situasi ini menimbulkan ketidaksenangan
dari paman-pamannya di Pamekasan, sehingga hubungan Raden Banjir dengan
keluarga di Pamekasan kurang harmonis. Hal ini yang mungkin menyebabkan ia berhenti
sebagai Adipati Pamekasan, yaitu pada tahun 1854,” imbuh Mohammad Mangku,
panggilan R. P. Mohammad Mangkuadiningrat.
Pangeran Adipati Suryokusumo. (Dokumen Ngoser.ID)
Setelah berhenti, Raden Banjir pulang ke
Sumenep. Tinggal bersama ibunya di Moncol. Raden Banjir kemudian mengembangkan
seni bela diri yang kemudian diberi nama Langkah Empat itu.
”Jadi, ia ini dikenal sebagai pendekar
besar di masanya. Ia juga dikenal alim di bidang agama. Ia diriwayatkan berguru
kepada Kiai Abu Syamsuddin atau Buju’ Latthong, di Batuampar Barat, Pamekasan.
Di samping juga banyak menimba ilmu pada kakeknya, Sultan Abdurrahman
Pakunataningrat,” kata Mohammad Mangku.
Zainal Abidin, narasumber awal di atas yang
juga salah satu keponakan Mohammad Mangkuadiningrat pernah menceritakan kisah
Raden Banjir saat disuruh kakeknya, Sultan Sumenep menghadapi pendekar ulung
berdarah Arab atau Timur Tengah dan berbangsa sayyid.
Sang Pendekar itu memang sengaja menantang
atau ingin menjajaki kemampuan keluarga keraton Sumenep di bidang olah jurus. Orang
tersebut mengatakan bahwa di negerinya, kehebatan Langkah Empat pernah dibincang.
Sultan lantas menyuruh cucunya tersebut untuk meladeni.
”Sebelumnya, Sultan berpesan pada Raden
Banjir agar jangan menggunakan senjata maupun tenaga dalam, cukup menghindar
serangan dan pergunakan jurus langkah empat saja,” kata Zainal.
Alhasil, pendekar berdarah sayyid
itu sampai keletihan menyerang Raden Banjir. Padahal yang menyerang menggunakan
senjata berupa pedang. Hingga sang penyerang itu menyangka Raden Banjir
menggunakan semacam asma’ jurus atau tenaga dalam. Pendekar Timur Tengah
itu pun menyerah.
Raden Ahmad Banjir wafat di Sumenep.
Jenazahnya dimakamkan di Asta Tinggi, sebelah timur kubah Panembahan Sumolo. Ia
tercatat memiliki 19 putra-putri. Keturunannya banyak berada di Sumenep.
Tumbuh Kembang Langkah Empat dan
Kemundurannya
Setelah Raden Banjir alias Pangeran Adipati
Suryokusumo wafat, tongkat estafet seni beladiri Langkah Empat jatuh pada salah
satu putranya, yaitu Raden Ario Abdul Ma’afi Sasradiningrat. Ia disebut
mewarisi semua keahlian ayahnya, bahkan dianggap melebihi ayahnya.
”Ia dikenal sebagai pendekar yang mumpuni.
Tidak hanya sekadar seni bela dirinya, namun juga lengkap dengan kanuragan atau
dalamnya. Istilah di sini Sampedi,” kata R. P. Mohammad Mangkuadiningrat.
Di masanya, dalam sejarah dan riwayat lisan
atau pitutur sesepuh Keraton Sumenep, seni bela diri Langkah Empat disebut
benar-benar disegani oleh kawan maupun lawan. Banyak pesilat, pendekar, atau
ahli bela diri dari luar Sumenep yang takluk pada Sasradiningrat, hingga
berguru padanya. Sasradiningrat juga dikisahkan pernah diundang oleh Keraton
Yogyakarta.
R. Ario Sasradiningrat. (Dokumen Ngoser.ID)
”Saat memperagakan jurus langkah empat, ia
membuat banyak orang takjub. Pasalnya, saat beliau berposisi miring, konon bumi
di sana juga ikut miring,” kata Mohammad Mangku.
Menurut cerita R. P. Zainal Abidin Amir, Sasradiningrat dikenal dengan kecepatan gerakan tubuhnya. Pernah di usianya yang sudah
sangat sepuh, ia mencoba salah satu keponakannya. Sang keponakan disuruh
menusuk perutnya dengan keris dalam jarak kurang dari 40 sentimeter.
”Namun meski dengan tenaga kuat dan gerak
cepat, keris yang ditusukkan itu bahkan tak mampu menyentuh baju beliau,” kata
Zainal.
Sepeninggal Sasradiningrat, yang di masa
tuanya menempuh jalan tashauf, seni bela diri Langkah Empat dilanjutkan oleh
anak cucu dan kerabat dari keluarga Keraton Sumenep.
Tokoh-tokoh yang dikenal sebagai ahli bela
diri langkah empat ini di antaranya kedua putra Ja Sasra, yaitu R. Ario
Cokrodiningrat, dan R. Ario Saccadiningrat. Lalu juga keluarga besar R. Ario
Mertonegoro (salah satu cucu Sultan Abdurrahman), keluarga besar Pesantren
Loteng Pasarsore, dan lain-lain.
Seni beladiri Langkah Empat tumbuh dan
berkembang di keluarga besar Keraton Sumenep hingga pasca kemerdekaan. Dan
sempat menjadi sebuah organisasi bernama Ganefo di masa Orde Lama. Meski
begitu, ada juga sebagian pihak di luar keluarga keraton yang mempelajarinya.
”Namun, kemudian mereka mengkombinasikan
dengan seni bela diri lain. Sedang yang tetap menguasai dasar atau aslinya
banyak yang tidak melakukan regenerasi atau tidak mengambil murid, sehingga
lambat-laun seni beladiri ini hampir punah,” tutup Mohammad Mangku.
(tulisan ini pernah tayang di situs
matamaduranews.com, tanggal 15 September 2018)
Ng
0 Komentar