Penampakan potret udara Kota Pamekasan yang
diambil pada 1946. (Sumber: KITLV)
Ngoser.ID - Bagi
pembaca literatur sejarah di Madura, atau pecinta kisah-kisah tempo doeloe
seputar pulau Garam, mungkin akan pernah sampai pada lembaran atau halaman
cerita tentang sebuah pusaka sakti bernama Joko Piturun. Menurut kisah masyhur
turun-temurun, pusaka itu berjenis keris. Keris pusaka milik seorang raja
terbesar di Pamekasan, yaitu Panembahan Ronggosukowati (memerintah pada 1530-1616 M).
Keris itu didapat sang Nata dengan cara
yang tak biasa. Banyak cerita mistik seputar keris yang melegenda itu. Termasuk
keampuhannya dalam peperangan, dan kisah yang diabadikan dalam beberapa
folklore di Madura.
Hadiah dari Tiga Tamu Asing
Dalam buku ” Sedjarah Tjaranja Pemerintahan
di Daerah-daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannja” karya Kangjeng
Zainalfattah, kisah keris Joko Piturun sangat masyhur. Keris itu disebut Si
Joko Piturun atau Se Joko Piturun. Saking ampuhnya keris itu, bahkan dikenal
juga dengan nama Kiai Joko Piturun.
Suatu waktu di masa awal duduknya
Panembahan Ronggosukowati sebagai Raja di Pamekasan, datang seorang tamu yang
mengaku dari suatu tempat. Tamu itu menghaturkan sebuah landiyan (ukiran
pegangan) keris kepada Panembahan. Setelah itu tamu tersebut mohon diri.
Keesokan harinya datang seorang lagi yang
membawa warangka keris dan bahan-bahan tempat keris. Dan di hari terakhir
datang lagi orang asing yang menghaturkan keris.
Sang Panembahan lantas memanggil ahli
pandai keris dan menyuruhnya merangkai pemberian tiga orang asing itu. Dan
anehnya, semua pemberian itu cocok dan tanpa harus merubahnya lagi menjadi
kesatuan sebuah keris yang sangat indah. Panembahan lantas memberi nama Joko
Piturun.
Bisa Menghidupkan Orang Mati
Dalam sebuah legenda Pamekasan, keris
Joko Piturun. Panembahan hanya mengarahkan ujung keris pada tahanan
jahat itu, lantas tiba-tiba sang tahanan rebah ke tanah dan mati.
Setelah itu Panembahan menyarungkannya lagi
dan kembali menghunus keris. Saat ujung diarahkan pada mayat tahanan itu,
dengan ijin Sang Kuasa, tahanan itu bisa hidup lagi.
Kisah kehebatan keris itu pun terdengar
seantero negeri, dan menambah kewibawaan Panembahan Ronggo yang dikenal sebagai
raja yang arif dan bijaksana. Kisah itu juga menjadi sebab Pamekasan kala itu
aman, dan tenteram. Tidak ada satu orang pun yang berani berbuat onar.
Apalagi Panembahan Ronggo dikenal dengan
sifat ksatriannya, yang meliputi ketangkasan, keberanian, kesabaran, ketabahan,
sopan dan adil. Beliau juga dikenal sebagai penguasa yang tidak suka memperluas
wilayahnya dengan cara merebut. Sehingga beliau pun sering kali turun tangan
ketika ada pihak yang mengganggu pihak lain.
Pernah suatu waktu, saat pasukan Bali
menyerang Sumenep, dan menyebabkan gugurnya Pangeran Lor I, pasukan tersebut
menuju Pamekasan. Mendengar itu, Panembahan Ronggosukowati langsung datang
sendiri ke tepi kota yang sekarang menjadi desa Jungcangcang. Di sana beliau
hancur-leburkan pasukan Bali. Sehingga menurut kisah, tak satupun pasukan Bali
yang luput dari maut. Nama Panembahan Ronggo semakin kesohor.
Berselisih dengan Raja Madura Barat
Panembahan Ronggosukowati adalah putra
Raden Adipati Pramono, penguasa Sampang. Adipati Pramono bersaudara dengan Kiai
Pragalba alias Pangeran Arosbaya. Keduanya sama-sama anak Pangeran Demang
Plakaran.
Pengganti Pragalba, yaitu Panembahan Lemah
Duwur suatu waktu berkunjung ke Pamekasan, ke sepupunya, yaitu Panembahan
Ronggo. Kedatangan tamu agung itu disambut baik oleh Panembahan Ronggo. Semua
rombongan Arosbaya dijamu siang malam di keraton Mandilaras.
Suatu hari Panembahan Lemah Duwur
menginginkan menangkap ikan di rawa atau kolam ikan yang diberi nama Se Ko’ol,
di area keraton. Sebuah rawa besar yang banyak ikannya. Lemah Duwur lantas
menyuruh menteri-menterinya agar menangkap ikan. Para menteri lantas melepas
busana, sehingga tinggal pakaian dalam, dan menangkap ikan ramai-ramai.
Mendengar Lemah Duwur ada di Se Ko’ol,
untuk membantu para tamu, Panembahan Ronggosukowati lantas mengutus
menteri-menterinya ikut membantu. Para menteri langsung menceburkan diri ke
rawa dengan pakaian lengkap karena saking taatnya pada Ronggosukowati.
Melihat itu, Panembahan Lemah Duwur
tersinggung. Lalu mengajak para pengawal dan menterinya pulang ke Arosbaya
tanpa pamit lebih dulu pada Panembahan Ronggo.
Tak berapa lama, kabar itu didengar
Panembahan Ronggo. Beliau pun marah dan menyusul Lemah Duwur hingga ke Sampang
dengan berjalan kaki. Sementara para prajurit di belakangnya membawa kuda.
Namun kudanya hanya dituntun. Sesampainya di Sampang, Panembahan Ronggo bertemu
adiknya, Adipati Sampang. Kepada sang adik diceritakan perihal Lemah Duwur.
Menurut keterangan sang adik, didapatlah
kabar jika Lemah Duwur sudah sampai di Blega, dan sempat beristirahat di bawah
pohon sambil bersandar. Pohonnya ditunjukkan kepada Ronggosukowati.
Lantas Panembahan Pamekasan itu menghunus
keris Joko Piturun, dan menusukkan ke pohon yang disandari Lemah Duwur.
Ronggosukowati lantas kembali ke Pamekasan.
Beberapa hari setelah itu, datanglah kabar
ke Pamekasan berupa surat dari permaisuri Lemah Duwur. Bahwa di hari
Ronggosukowati menusukkan keris Joko Piturun ke pohon di atas, Lemah Duwur
bermimpi tertusuk keris tersebut. Keesokan harinya, bekas tusukan dalam mimpi
itu menjadi sebuah bisul besar dan terasa hebat sakitnya. Setelah dua hari,
Panembahan Lemah Duwur wafat.
Mendengar itu, Panembahan Ronggosukowati
menyesal dan menuju kolam rawa Se Ko’ol dan melemparkan keris Joko Piturun ke
dalam rawa. Selepas itu datanglah suara: “seandainya keris Joko Piturun tidak
dibuang, sudah tentu Jawa dan Madura hanya selebar daun kelor”.
Panembahan terkejut dan menyuruh para
prajurit mencari keris yang dilempar ke kolam itu. Namun setelah lama berusaha
mencari, hasilnya nihil. Kejadian itu tercatat pada tahun 1592 Masehi.
Kolam Se Ko’ol saat ini juga sudah tidak
ditemukan lagi bekasnya. Namun diperkirakan tidak jauh dari Keraton Mandilaras yang
saat ini sudah menjadi Pendopo Agung Ronggosukowati milik Pemerintah Kabupaten
Pamekasan.
(Tulisan ini pernah tayang di situs mamira.id,
tanggal 21 Juli 2021)
Ng
0 Komentar