Ilustrasi lukisan Pangeran Diponegoro bersama pasukannya di bantaran Sungai Progo, penghujung 1930. (Foto: Istimewa) |
Ngoser.ID – Diakui
sebagai Pahlawan Nasional, Pangeran Diponegoro, pemimpin perang Jawa
(1825-1830), juga dikenal sebagai putra utama Sultan Jogjakarta ketiga,
Hamengku Buwono III. Sang Sultan ini memerintah dalam dua periode, yaitu tahun
1810 – 1811 dan 1812 – 1814.
Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai
tokoh yang penuh dengan ribuan kisah. Literatur sejarah tak henti-hentinya
mengupas tokoh yang di masanya ini dikenal sebagai “pemberontak” yang
menggetarkan kalangan penjajah sekaligus tanah Mataram.
Namun di balik semua kisah tentang
Diponegoro yang kebanyakan membincang ke-Jawa-annya, sang pangeran yang dikenal
sebagai ksatria sekaligus sufi ini ternyata memiliki darah Madura di tubuhnya.
Tak hanya itu, Diponegoro juga memiliki keturunan di Pulau Garam. Mata Madura
mencoba mengulasnya dengan singkat-padat.
Berdarah Cakraningrat
Lahir dengan nama Raden Mas Ontowiryo,
dikenal juga nama dagingnya Abdul Hamid, dan pengakuan pengikutnya sebagai
Sultan Herucakra, Diponegoro kecil adalah putra Sultan Hamengku Buwono III dari
isteri yang bukan permaisuri. Diponegoro lahir dari rahim RA Mangkarawati,
putri R. Tumenggung Setrowijoyo II, Bupati Pacitan.
Hamengku Buwono III, ayah Diponegoro lahir
dari GKR Kedaton, putri dari R. Adipati Purwodiningrat, Bupati Magetan.
Purwodiningrat adalah anak R. Adipati Sasrawinata, bupati Pasuruan. Ayah
Sasrawinata ialah R. Adipati Purwonegoro, salah satu anak Panembahan
Cakraningrat II (Siding Kamal), penguasa Madura Barat pada 1647-1707 M.
Panembahan ini adalah putra sekaligus pengganti Pangeran Adipati Cakraningrat I
(Raden Prasena), Seda Ing Imagiri.
Tak hanya satu jalur, masih ada dua jalur
lagi, bersambungnya nasab Diponegoro, melalui ayahnya tersebut. Jalur kedua,
dari ibunda Sultan Hamengku Buwono II (kakek Diponegoro). Ibunda Hamengku Buwono
II, yaitu GKR Mas, juga masih keturunan Cakraningrat I melalui putrinya yang
bernama Ratu Mas Ayu Ketib Grobogan.
Urutannya begini, Ratu Mas Ayu Ketib
Grobogan punya putra Tumenggung Sontoyudo I. Sontoyudo I berputra Tumenggung
Sontoyudo II. Sontoyudo II berputra Ki Ageng Wiroyudo. Lalu Wiroyudo berputra
Ki Ageng Derpoyudo (R. Harjakusumo), yaitu ayahanda GKR Mas di atas.
Baca juga: Jejak Khalwat di Balik NamaKasengan
Jalur ketiga, dari ibunda Raden Adipati
Purwodiningrat, bupati Magetan. Sang ibu adalah putri Raden Suropati II.
Suropati II lahir dari rahim Raden Ayu Gusik Kusuma, yaitu putri Pangeran
Trunojoyo (Panembahan Maduretna). Trunojoyo adalah putra Raden Demang
Mlayakusuma. Dan Mlayakusuma adalah putra Cakraningrat I.
Berbesanan dengan Sultan Sumenep
Seperti disebut di muka tokoh yang dikenal
sakti mandraguna itu sarat dengan ribuan kisah. Dalam versi sejarah tutur di
Sumenep, setelah dijebak dan ditawan oleh Belanda, sang pangeran dibawa ke
Sumenep. Yang menjemput Diponegoro ialah Sultan Abdurrahman Pakunataningrat
(memerintah 1811-1854 M).
Berdasar kisah turun-temurun di kalangan
keluarga keraton Sumenep, Sultan Abdurrahman diminta bantuan oleh Belanda untuk
menghadapi pemberontakan Diponegoro di Jogjakarta. Propaganda yang diluncurkan
VOC kala itu, sang pangeran disebut mau merebut hak waris putra mahkota dari
adiknya yang lahir dari permaisuri.
Propaganda berhasil, Sumenep yang dikenal
berpegang teguh pada hukum Islam kala itu mengirimkan armada untuk menaklukkan
Diponegoro. Konon, Sultan yang berhadapan langsung dengan sang Pangeran, dalam
sebuah pertemuan rahasia di gua persembunyian Diponegoro. Setelah bertemu empat
mata, dan terjadi adu kesaktian, sang pangeran menyatakan takluk pada Sultan
Sumenep. Namun setelah tahu bahwa sang pangeran bukanlah seperti yang
dituduhkan Belanda, melainkan untuk mengusir pengaruh penjajah dari bumi Jawa,
akhirnya Sultan menarik pasukannya.
Nah, ketika terjadi tipu muslihat, dan
Diponegoro ditawan, sang pangeran meminta dibawa ke Sumenep. Pangeran
Diponegoro juga hanya meminta dijemput oleh Sultan Sumenep. Maknanya, beliau
tidak menyatakan takluk pada Belanda, melainkan takluk pada Sumenep.
Baca juga: Misteri Sang Pejuang yangTerbuang Sayang
Sultan pun menjemputnya, dan menempatkan
Diponegoro beserta sebagian keluarganya di Kepanjin (sekarang kampung
Bujanggan), sebelah utara keraton Sumenep. Di Sumenep, Diponegoro banyak
melakukan laku tirakat dan sekaligus berkhalwat. Beliau juga sering menyepi di
kuburan-kuburan keramat. Sehingga lantas Belanda bermaksud memindahkannya ke
Makassar.
Nah, di Sumenep, salah satu putri
Diponegoro yang bernama Dewi Ratih diambil sebagai menantu oleh Sultan
Abdurrahman. Dinikahkan dengan Pangeran Ario Suryoamijoyo. Dari perkawinan itu
lahirlah Raden Ario Abdul Majid Suryoprojo.
Putri Diponegoro yang lain, yaitu Raden
Endang Kaliangi, sempat ditunangkan dengan Pangeran Suryoadiputro, putra Sultan
Sumenep lainnya. Namun sang putri wafat tak lama setelah ditunangkan. Dalam
versi lain wafat setelah tak lama menikah dengan Pangeran Suryoadiputro.
Selain itu, putra Diponegoro yang bernama sama
dengannya, yaitu Pangeran Diponegoro II juga diambil menantu Sultan
Abdurrahman. Dinikahkan dengan Raden Ajeng Uluwiyah, namun tidak memiliki keturunan.
Namun dalam versi lainnya, justru Pangeran Diponegorolah yang menikah dengan
Raden Ajeng Uluwiyah. Wa Allahu a’lam.
(Tulisan ini pernah ditayangkan di matamaduranews.com
pada tanggal 16 Desember 2019)
MM/Ng
0 Komentar