Cungkup Pasarean "Ratu Ibu" di Asta Tinggi Sumenep. (Foto/ngoser) |
Ngoser.ID – Jika
di Madura Barat ada dua Ratu Ibu, yaitu di Arosbaya dan Madegan, maka di Madura
Timur juga ada Ratu Ibu. Hanya saja, sebutan tersebut tidak sama maknanya
dengan Ratu Ibu Arosbaya dan Ratu Ibu Madegan.
Ratu Ibu di Sumenep juga merupakan isteri
Raja, dan berputra seorang pangeran. Hanya saja, sang putra bukanlah raja
penerus, maupun putra mahkota. Meski dalam tradisi lisan Madura Timur, sang
pangeran justru merupakan putra mahkota utama. Siapa sang ratu Ibu yang
dimaksud?
Sejarah Ratu Ibu
Sebelum membahas tentang “Ratu Ibu” di Madura Timur, yaitu Sumenep, maka perlu kiranya dikupas sedikit tentang sejarah sebutan Ratu Ibu di Madura.
Secara tradisi, ratu merupakan gelar
pemimpin kerajaan, yang tokohnya tersebut berjenis kelamin perempuan. Namun ada
juga ratu yang disematkan sebagai gelar seorang garwa parameswari atau
permaisuri raja, yakni isteri utama seorang raja.
Makna lainnya, ratu bisa dipakai dua jenis
kelamin sekaligus, yang maknanya seperti di atas, yaitu gelar pemimpin
kerajaan. Alasannya, karena ada istilah keraton yang berakar dari panggilan
ratu atau rato, dalam bahasa Madura. Sebagaimana istilah kerajaan yang berakar
pada panggilan raja, dan kedatun atau kedaton yang berakar pada datu.
Makam Ratu Ibu di Madegan, Sampang. (Foto/ngoser) |
Dalam sejarah kuna Madura ada dua sosok
perempuan yang bergelar Ratu Ibu. Nah, Ratu di sini maknanya ialah isteri utama
raja.
Ratu pertama ialah Ratu Ibu Madegan.
Sebutan Ratu pada sosok yang pasareannya ada di kawasan Asta Madegan Sampang
ini bermakna permaisuri. Beliau ini memang isteri utama dari Raden Koro alias
Pangeran Tengah, penguasa Madura Barat yang berkedudukan di Sampang.
Sedangkan sebutan Ibu, karena beliau ini
adalah ibu suri atau ibunda dari putra mahkota, yakni Raden Prasena alias
Cakraningrat I Seda Ing Imagiri.
Ratu Ibu kedua ialah Ratu Ibu Arosbaya,
yang bernama asli Syarifah Ambami. Beliau adalah putri Pangeran Ronggo, di
Nepa, Sampang. Sang Ratu kali ini ialah menantu dari Ratu Ibu pertama. Jadi
Ratu Ibu Arosbaya ialah isteri Raden Prasena, putra Ratu Ibu Madegan. Disebut
Ratu Ibu, karena juga melahirkan putra mahkota yang selanjutnya bergelar
Cakraningrat II Siding Kamal.
“Ratu Ibu” Sumenep
Sebutan “Ratu Ibu Sumenep” sejatinya
merupakan istilah para peziarah di pasarean ibunda Pangeran Le’nan di
Banasokon, Kebunagung. Lokasi pasarean masuk kawasan Asta Tinggi, Sumenep. Asta Tinggi merupakan kawasan pemakaman para raja di Madura Timur.
Sebuah pasarean unik. Karena pintu masuk
cungkupnya (kubah makam) berupa akar pohon besar. Pohon dan akar itu sudah
menyatu dengan bangunan cungkup. Jika dilihat dari dalam, serabut akar itu
memenuhi dinding cungkup, meliuk-liuk seperti ular.
“Pohon Kosambi kata orang Madura. Pohon ini
memang tumbuh dari cungkup. Bukan tumbuh dari tanah di bawah cungkup,” kata R. Ja’far
Shadiq, salah satu keturunan Pangeran Le’nan di Sumenep.
Berpintu akar pohon Kesambi, makam Ibunda Pangeran Le'nan (tengah). (Foto/ngoser) |
Pangeran Letnan Kolonel merujuk pada salah
satu putra Sultan Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat (memerintah 1811-1854
Masehi).
Pangeran Letnan Kolonel, atau yang dikenal
dengan sebutan Pangeran Le’nan, merupakan salah satu putra tertua dan paling
terkenal di antara sesama sesaudaranya.
Beberapa riwayat atau cerita kuna menyebut
sang pangeran ini sebagai sosok yang pemberani, alim dan berilmu tinggi.
Khususnya di bidang seni perang dan kanuragan. Berbagai kisah mistik disematkan
pada sosok bernama kecil Raden Ario Hamzah ini.
Kisah lainnya, Pangeran Le’nan merupakan salah satu kandidat putra mahkota. Hal itu berdasar beberapa keterangan sesepuh Sumenep.
Hanya, karena demi keutuhan keluarga, Pangeran Le’nan mengalah pada saudaranya,
yang selanjutnya naik tahta dengan gelar Panembahan Mohammad Saleh Notokusumo
(1854-1879).
Potret cungkup bagian dalam makam Ibunda Pangeran Le'nan. (Foto/ngoser) |
Kembali pada cungkup Ibunda Pangeran
Le’nan, sejak “ditemukan” pada 2016 silam (bisa dilihat di sini linknya; red),
pasarean ini menarik banyak pengunjung. Area pemakaman Ibunda Sang Pangeran ini
mulai terawat berkat Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser) dan Perkumpulan Keluarga
Keturunan Pangeran Le’nan di Kepanjin.
“Awalnya ingin melihat keunikan makam,
namun lambat laun betah berlama-lama di sini,” kata seorang peziarah, sebut
saja Ramli.
Cungkup pasarean Ibunda Pangeran Le'nan, tampak dari belakang). (Foto/ngoser) |
Lokasi cungkup memang agak jauh dari jalan
raya. Akses jalan juga baru saat ini yang lebih baik. Sebelumnya agak terjal
dan banyak bebatuan. Namun saat ini sudah dipaving sekitar 50 meter ke barat.
Sisanya jalan setapak namun tidak begitu terjal.
“Kita menyebut beliau Ratu Ibu. Karena
sejarahnya merupakan isteri seorang Sultan,” kata Ramli.
Menurut R. Ainurrahman, salah satu
keturunan Pangeran Le’nan lainnya, di antara para peziarah memang ada yang
membentuk komunitas peziarah yang dinamakan Perkumpulan Ratu Ibu. Ainur mengaku
tidak keberatan. “Tidak masalah, hanya penyebutan para peziarah saja untuk
menghormati Ibunda Pangeran Le’nan,” katanya.
Ng
2 Komentar
Muantaap...
BalasHapusTerus gali sejarah Sumenep om... sebagai rujukan generasi penerus di jaman micin.
Siap, kakak... Terima kasih
Hapus