Kubah pasarean Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V di Asta Tinggi Sumenep. Potret tahun 1939. (Sumber: pinterest.com)
Ngoser.ID – Nama
kecilnya ialah Raden Saleh. Ia merupakan salah satu anak laki-laki dari pembesar
tanah Jawa yang berkedudukan di Semarang. Ayahnya ialah Kepala Bupati. Istilah
kolonialnya ialah Hoofd Regent.
Zainalfattah, Sejarahwan legendaris Madura
mendefinisikan istilah ini sebagai bupati Wadhono. Yakni, adipati yang
membawahi beberapa bupati. Wilayah pusat tersebut dikenal dengan kadipaten
Wadhono.
Ayah Raden Saleh ini ialah Kangjeng Kiai
Adipati Suroadimenggolo V. Mr. Hamid Algadri dalam bukunya, Islam dan Keturunan
Arab Dalam Pemberontakan Melawan Belanda, menuliskan Kangjeng Adipati ini
sebagai sosok berpengaruh di Jawa.
Sang Adipati juga ditulisnya sebagai tokoh
cendekia yang menguasai beberapa disiplin ilmu, baik politik, budaya, dan seni
perang. Konon, Pangeran Diponegoro yang masih memiliki hubungan darah dengan
sang Adipati, sering meminta pendapatnya sebelum meletuskan perang Jawa.
Dalam History of Java, Raffles Sang Adipati
sebagai salah satu sumber karyanya itu.
Hanya saja, nasib sang Adipati dan putranya
itu hampir dipastikan tragis. Sekitar tahun 1822, dalam buku “Dua Raden Saleh
Dua Nasionalis Dalam Abad 19”, Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V
diturunkan dari kedudukannya sebagai “Rato” Semarang.
Disusul dua tahun berikutnya, sang putra,
Raden Saleh yang bernama lain Raden Ario Notodiningrat juga dicopot dari
posisinya sebagai bupati Lasem. Raden Saleh saat ditangkap dalam keadaan
bersenjata dan bersiap bergabung dengan pasukan Diponegoro.
Namun karena belum menemukan bukti kuat,
saat diadili, beliau dilaporkan menderita gangguan kejiwaan alias gila.
Sehingga ditemukan alasan untuk menurunkannya dari kursi bupati
Tak hanya diturunkan sebagai bupati, Raden
Saleh juga lantas ditawan bersama sang ayah. Keduanya dicurigai kuat sebagai
tokoh di balik perang Jawa. Ditawan di atas kapal perang Pollux, dibawa ke
Surabaya, sebelum setelah itu diinternir ke Ambon.
“Kangjeng Kai, begitu, keluarga besar
Keraton Sumenep menyebut beliau. Karena beliau juga sekaligus Kai atau ayah
mertua Sultan Sumenep,” kata R. B. Muhlis, salah satu pemerhati sejarah
Sumenep.
“Baru atas upaya Raden Saleh, dan bantuan
Sultan Sumenep, keduanya dilepaskan dan mendapat suaka dari Keraton Sumenep.
Kangjeng Kai dan Raden Saleh dibebaskan pada 1829. Setahun setelah beliau
berdua tiba di Sumenep,” tambah Gus Muhlis.
Meski ada versi tutur Sumenep yang berbeda
tentang awal pelengseran Kangjeng Kai dari singgasananya di Semarang, namun
sebab musababnya sama, yaitu perselisihannya dengan pihak kolonial yang semakin
lama semakin memanas. Versi tutur Sumenep juga menceritakan saat Kangjeng Kiai
menghunus keris pusakanya yang di Sumenep dikenal dengan nama Se Cingkrung di
hadapan gubernur jenderal kolonial kala itu.
Di Sumenep, tidak banyak dijelaskan
bagaimana kiprah Kangjeng Kai. Hanya menurut riwayat, beliau sangat benci
Belanda dan memilih hidup di luar Keraton. Sementara Raden Saleh, mengingat
tingginya tingkat intelektualitasnya, diangkat oleh Sultan Sumenep sebagai
Patih Dalem atau wakil raja. Beliau diberi gelar baru, Raden Adipati
Pringgoloyo.
“Di Semarang jabatan Hoofd Regent
diturunkan pada salah satu putra Kangjeng Kai, yaitu Raden Krisno yang juga
bergelar sama,” jelas Muhlis.
Menurut Hamid Algadri, nama Kangjeng Kai
sengaja dihilangkan dalam catatan silsilah Semarang hingga berapa puluh tahun
lamanya. Konon, kata “Pemberontak” pada Kangjeng Adipati Semarang itu dianggap
“aib” keluarga.
Hal itu yang juga terjadi pada pribadi
Pangeran Diponegoro dan sebagian keturunannya, yang konon selama beberapa
generasi “hilang” di kakancingan silsilah Keraton Jogjakarta.
“Dulu, tokoh keraton yang sekarang dikenal
sebagai pahlawan itu nama lainnya adalah pemberontak. Di Sumenep ini contohnya
Kangjeng Kai dan putranya, Pringgoloyo,” tutup Muhlis.
Raden Adipati Pringgoloyo dan ayahnya,
Kangjeng Kiai, wafat di Sumenep dan dimakamkan di Asta Tinggi. Dalam catatan
Sumenep Kangjeng Kiai sesuai yang tertera di batu nisannya, wafat pada 25 Dzulhijjah
1242 Hijriah (1755 tahun Jawa). Sementara Pringgoloyo wafat pada 1272 Hijriah
(1784 tahun Jawa).
Ng
0 Komentar