Pesisir dan salah satu muara di perairan Ambunten pada 1940. (Foto/Koleksi Tropenmuseum) |
Ngoser.ID – Daerah
Ambunten dan pesisir utara Sumenep memiliki beragam kisah karomah para kekasih
Allah.
Seperti kisah karomah Kiai Macan alias
Raden Demang Singoleksono yang dikisahkan memiliki banyak karomah. Salah
satunya ialah ketika ada warga kemalingan, beliau cukup menabuh kentongan
kecil, maka saat itu juga si maling menyerahkan diri sekaligus membawa kembali
barang curiannya. Kisah ini masyhur di kalangan keluarga Keraton Sumenep, dan
Ambunten pada khususnya.
“Kiai Macan juga dikenal dengan karomahnya
yang menaiki pe-sapean pappa (pelepah pisang yang biasa dibuat
sapi-sapian oleh anak kecil; red) sembari terbang saat mengambil panji-panji
Keraton Sumenep yang dibawa ke Blambangan. Pulangnya beliau naik mondung
(ikan hiu; red) seorang diri,” kata Nyai Hajjah Zainiyah, salah satu keturunan
Kiai Macan di Desa Ambunten Timur.
Tak hanya kisah kekeramatan tersebut, ada
lagi kisah karomah sang kiai ini yang konon masih bisa terlihat hingga saat ini
pada orang-orang tertentu. Yaitu kisah karomah dua wali di Sungai Pandi,
Ambunten Tengah.
Syahdan, di suatu masa sekitar pertengahan
tahun 1800-an hiduplah seorang ulama besar di Ambunten bernama Kiai Rausyi.
Kiai Rausyi masih memiliki hubungan darah dengan Kiai Macan di atas. Keduanya
juga disebut memiliki hubungan perbesanan.
Kiai Macan merupakan penguasa Ambunten,
yang dikenal alim. Sementara Kiai Rausyi adalah tokoh ulama berkerabat dengan
Kiai Mahmud Aengpanas, ayah Kiai Imam, pendiri pesantren Karay, Ganding.
“Suatu ketika Kiai Rausyi diriwayatkan
bertamu ke kediaman Kiai Macan yang berada di pinggir Sungai Pandi, yang
sekarang masuk wilayah Desa Ambunten Tengah,” kata almarhum K. Raheli, beberapa
tahun silam. Raheli, leluhurnya memiliki hubungan kekerabatan dengan Kiai
Rausyi.
Sesampainya di kediaman Kiai Macan, Kiai
Rausyi berkata pada Kiai Macan bahwa dirinya ingin dijamu masakan ikan laut.
Lalu Kiai Macan bergegas mengambil jaring yang biasa digunakan para nelayan dan
menghamparkannya ke halaman rumah beliau. Seketika atas ijin Allah, jaring
dipenuhi oleh ikan-ikan laut yang masih hidup dan menggelepar di jaring tersebut.
“Akhirnya dimasaklah ikan-ikan tersebut
oleh Kiai Macan dan dihidangkan kepada Kiai Rausyi,”cerita Raheli.
Setelah selesai makan, Kiai Macan seperti
yang ditirukan Raheli, berkata pada Kiai Rausyi, “sekarang giliranmu,
saudaraku”.
Mendengar itu, Kiai Rausyi mengambil
sisa-sisa ikan bakar yang kepalanya masih menyatu dengan tulang sampai ekor,
namun sudah tiada berdaging, karena telah dimakan. Ikan bakar tersebut lalu
dilempar oleh Kiai Rausyi ke sungai Pandi yang tak jauh dari situ. Ajaib, ikan
yang tak berdaging itu atas ijin Allah hidup dan berenang-renang di sungai.
“Ikan tersebut hingga saat ini dari cerita
warga kadang menampakkan diri. Namun tidak semua orang bisa menjumpainya di
Sungai Pandi,” kata Raden Imamiyah, keturunan Kiai Macan sekaligus yang ada di
Ambunten.
Namun, konon, seperti yang dikatakan
Imamiyah, biasanya warga atau orang yang melihatnya tidak lama hidup alias
pendek umurnya. “Dari dulu memang dikenal seperti itu. Tapi yang namanya mati
itu ya tetap dikembalikan pada ketentuan Allah. Sudah ajalnya,” tutup Imamiyah.
Ng
0 Komentar