Potret Tangga dan Candi Bentar menuju Pasarean Sunan Giri di tahun 1932. (Sumber id.wikipedia.org) |
Ngoser.ID – Peradaban
Madura digerakkan oleh tokoh-tokoh yang kebanyakan berasal dari luar pulau.
Tokoh-tokoh ini bersusur galur atau
mengakar pada keluarga tertentu. Salah satunya dari keluarga Giri Kedaton atau
Kerajaan Giri.
Giri Kedaton merupakan pusat dakwah dan
penyebaran agama Islam yang dimotori oleh Raden Paku alias Suhunan Giri yang
bergelar Prabu Satmata Tanpasama.
Sunan Giri merupakan tokoh populer di
antara Wali Sembilan di tanah Jawa. Beliau bahkan diakui sebagai pentahbis para
Raja Islam di Nusantara.
Kawasan Giri yang berasal dari Pesantren
Giri ini berkembang menjadi sebuah sistem pemerintahan tersendiri. Meski
diketahui, Wali Sanga ikut mendirikan kesultanan Demak, sebagai sistem
pemerintahan pasca runtuhnya Majapahit.
Pesantren Giri awalnya didirikan oleh Raden
Paku atau Sayyid Ainul Yaqin pada tahun 1481. Daerah Giri merupakan bagian dari
Kerajaan Majapahit. Seiiring melemahnya Majapahit, banyak daerah-daerah
bagiannya yang melepaskan diri. Sementara Giri awalnya bahkan diberikan status
otonom oleh Majapahit, sebelum kemudian melepaskan diri pula.
Pesantren Giri selanjutnya dikenal dengan
sebutan Giri Kedaton, Kedatuan Giri, atau Kerajaan Giri sesuai sebutan dalam
Babad ing Gresik. Sunan Giri merupakan pendiri sekaligus raja pertama di
Giri, yang memerintah sejak 1487-1506.
Beliau dikenal sebagai Raja Pandita atau
Raja Ulama. Dua sejarawan asal Belanda, H.J. de Graaf dan Samuel Wiselius, juga
menyebut pesantren ini sebagai "kerajaan ulama".
Nama besar Sunan Giri hingga beberapa
generasi penerusnya yang memerintah kedatuan ini, begitu dihormati oleh
penguasa sentral tanah Jawa. Hingga di masa pemerintahan Sultan Agung Mataram, kedatuan
Giri menjadi vasal atau wilayah taklukan Mataram, setelah sebelumnya melalui
peristiwa adu fisik.
Pecahan keluarga Giri, melalui para pangeran
utama kerajaan ini, banyak menyebar dalam rangka meneruskan perjuangan
pendahulunya, khususnya di bidang agama sekaligus juga di ranah pemerintahan.
Salah satu lokasi yang banyak menjadi sasaran anak panah dakwah keluarga Giri
adalah nusa Madura.
Di Madura, sejak sekitar abad 16, anggota
keluarga bangsawan Giri banyak berperan penting dalam pembumian Islam. Ngoser.ID
mencoba mengulas beberapa tokoh utamanya.
Pangeran Khotib Manto
Pangeran Khotib ini dikenal dengan beberapa
nama. Di antaranya Pangeran Khatib Sampang, dan Pangeran Pakebunan.
Disebut Khatib Manto karena diambil sebagai
menantu oleh Panembahan Lemah Duwur, Arosbaya.
Pangeran Khotib merupakan salah satu anak
Sunan Kulon. Sunan Kulon adalah anak Sunan Giri.
Beliau berdomisili di Sampang dan hingga
akhir hayatnya meninggal dunia di sana. Makamnya berada di dekat Masjid
Madegan, Sampang.
Kiai Cendana
Lahir dari rahim Nyai Gede Kedaton, salah
satu putri Sunan Kulon. Jadi Kiai Cendana adalah keponakan Pangeran Khatib
Manto.
Ayahnya adalah Raden Khatib alias
Bandardayo. Dari garis ayahnya nasab Kiai Cendana bersambung hingga Sunan
Ampel.
Nama aslinya Zainal Abidin. Beliau dikenal
juga dengan gelar Pangeran Purna Jiwa (dalam versi lain Purna Jaya).
Hijrah ke kawasan Kwanyar, Bangkalan.
Beliau juga dikenal dengan sebutan Kiai Kwanyar.
Pangeran Ronggo
Tidak banyak keterangan seputar
kehidupannya. Nama beliau sering dikutip dalam sejarah genealogi penguasa
Madura Barat.
Pangeran Ronggo adalah anak Pangeran Mas
Peganten.
Mas Peganten adalah anak Pangeran Waringin
Pitu. Sedang Waringin Pitu adalah anak Nyai Ageng Sawo di Giri.
Nyai Ageng Sawo merupakan anak perempuan
Sunan Giri. Suaminya, Kiai Ageng Sawo atau Pangeran Sawo adalah cucu dari garis
laki-laki Sunan Ampel.
Pangeran Ronggo menetap di Nepa, Sampang.
Pangeran Karangantang
Karangantang merupakan nama tempat di
Sampang. Pangeran Karangantang bermakna pangeran di Karangantang.
Beliau adalah anak Pangeran Gebak di Giri.
Pangeran Gebak adalah anak Sunan Kulon. Jadi beliau bersaudara dengan Pangeran
Khotib Manto dan Nyai Gede Kedaton.
Pangeran Karangantang berputra Pangeran
Pulangjiwo, Raja Sumenep.
Rato Ebu Syarifah Ambami
Nama aslinya ialah Syarifah Ambami. Beliau
adalah putri Pangeran Ronggo, di Nepa, Sampang. Jika ditarik ke atas, Syarifah
Ambami adalah keturunan Sunan Giri sekaligus Sunan Ampel.
Sebutan Ratu Ibu pada Syarifah Ambami,
karena dari beliaulah lahir putra mahkota Madura Barat. Yaitu Raden Undakan,
alias Panembahan Cakraningrat II alias Siding Kamal. Panembahan ini dikenal
kekeramatannya, seperti salah satunya kisah pasca wafatnya, yang membuat waktu
terhenti sementara.
Dalam kisah Madura Barat, Pangeran
Cakraningrat I lebih sering ada di Mataram ketimbang di wilayah kekuasaannya.
Sehingga sang Ratu lebih banyak ditinggal. Oleh karenanya, Ratu Ibu Syarifah
Ambami lebih banyak mengasingkan diri atau beruzlah (bertapa) di Arosbaya.
Suatu saat, Ratu Ibu didatangi Nabi
Khaidir, dan diperkenankan mengajukan sebuah pemintaan. Sang Ratu menginginkan
agar Madura Barat dipimpin anaknya hingga tujuh turun. Cakraningrat I yang
mendengar kejadian itu menegur isterinya. “Kenapa engkau hanya meminta tujuh
turun, bukan sampai seterusnya?”
Mendengar suaminya kecewa, Sang Ratu
kembali meneruskan tapanya hingga wafat dan dimakamkan di Aermata Arosbaya
beserta raja-raja Bangkalan, keturunannya.
Pangeran Pulangjiwo
Raden Kaskiyan nama kecilnya. Beliau adalah
putra Pangeran Karangantang, Sampang.
Setelah dewasa, Kaskiyan diambil sebagai
menantu oleh Tumenggung Yudanegara alias Pangeran Macan Ulung, Raja Sumenep.
Raden Kaskiyan lantas menggantikan
mertuanya sebagai penguasa Sumenep dengan gelar Pangeran Pulangjiwo.
Beliau dikenal sebagai raja yang arif dan
keramat. Dalam kisah babad, jenazahnya lenyap saat dikuburkan. Makamnya berada
di kompleks utama Asta Tinggi Sumenep.
Ng
1 Komentar
Makam pangeran KARANGENTANG ada dimana...??
BalasHapus