Berlatar tangga Asta Imogiri di Jawa, tampak suasana pemakaman Raja Surakarta pada 1940. (Sumber: jogjadaily.com)
Ngoser.ID - Kerajaan
Madura Barat secara masa terbagi menjadi tiga. Masa pertama ialah mulai
bertahtanya Kiai Demang Plakaran di keraton Anyar. Masa itu tersebut belum bisa
dipastikan tarikh atau tahunnya secara pasti. Hanya diperkirakan di abad 15
Masehi.
Kiai Demang Plakaran atau Pangeran Demang
Plakaran memiliki beberapa anak laki-laki. Di antara yang menonjol ialah Raden
Adipati Pramono alias Pangeran Bonorogo, dan Kiai Pragalba alias Pangeran
Arosbaya.
Dari keduanya, bermunculan tokoh-tokoh
penguasa yang mengendalikan nusa Madura mulai dari ujung Barat hingga ujung
Timur.
Keturunan Raja dan Wali
Kiai Demang Plakaran menurut catatan
silsilah kerajaan Madura Barat merupakan keturunan dari Raja Majapahit yang
bergelar Brawijaya. Turun kepada Ario Damar, penguasa Palembang. Lalu turun
kepada Ario Menak Senoyo, yang menurut legenda mendarat di Madura dengan
mengendarai seekor ikan.
Pintu masuk menuju pasarean Kiai Demang Plakaran di Desa Plakaran Arosbaya, Bangkalan. (Foto/ngoser)
Menak Senoyo lantas bertahta di Proppo,
Pamekasan. Beliau ini menurunkan Ario Kedut, Ario Timbul, Ario Pojok, hingga
Kiai Demang Plakaran.
Di samping naskah itu, ada naskah lain yang
tidak umum. Naskah yang menyatakan jika Kiai Demang Plakaran adalah trah Giri
Kedaton. Alias keturunan Sunan Giri I (Sayyid Ainul Yaqin).
Masa Kedua
Setelah mangkatnya Kiai Demang Plakaran,
tahta Arosbaya jatuh ke tangan Kiai Pragalba. Beliau dikenal dengan nama
Pangeran Arosbaya. Sementara anak tertua yang disebut di muka, yaitu Raden
Adipati Pramono menjadi penguasa di wilayah Sampang dan sekaligus Pamekasan.
Di masa tersebut pengaruh Jawa kawi masih
begitu kental. Baik bahasa maupun adat istiadat. Pada makam Pragalba di
Arosbaya, menurut kajian cagar budaya, batu-batunya sejenis dengan batu candi
di Jawa.
Pintu masuk Makam Agung Arosbaya. (Foto/ngoser)
Masa Pragalba menjadi penanda masuknya
pengaruh Islam awal di Madura Barat. Kisah Empu Bageno yang penah diulas Mata
Madura, hingga peran Sunan Kudus, salah satu anggota Wali Sanga Jawadwipa,
hingga kearifan putra mahkota Pratanu membuat Islam berkembang menjadi agama
penguasa.
Pratanu lantas mengendalikan Madura Barat
sepeninggal ayahnya, Pragalba. Pratanu naik tahta dengan gelar Panembahan Lemah
Duwur. Diabadikan dalam candra sengkala Sirna Pendawa Kertaning Nagari 1450
Saka.
Kala itu di Jawa bersamaan dengan
pemerintahan Sultan Demak III, Trenggana. Setelah masa Trenggana, naiklah Sunan
Prawata, yang berakhir dengan pemberontakan Aria Penangsang. Sekaligus kemudian
beralihnya wahyu keprabon ke tangan Jaka Tingkir alias Adiwijaya, Sultan Pajang
pertama. Jaka Tingkir merupakan menantu Trenggana.
Pasarean Kiai Pragalba di Makam Agung Arosbaya. (Foto/ngoser)
Berdasar catatan silsilah Madura Barat,
Pratanu alias Lemah Duwur menikah dengan salah satu putri Jaka Tingkir. Dari
pernikahan tersebut lahir di antaranya Raden Koro alias Pangeran Tengah,
pengganti Lemah Duwur.
Dengan demikian, di samping memiliki
keterkaitan leluhur dengan Demak Bintara sekaligus Pajang, sejak periode
Pratanu, hubungan perkawinan mendekatkan kedua keluarga besar. Karena baik Madura
Barat dan Demak-Pajang merupakan keturunan raja-raja Majapahit.
Masa Ketiga
Saat Pajang berganti ke Mataram, Madura
mulai menjadi incaran. Di masa Sultan Agung, sebuah invasi dilancarkan. Seluruh
Madura digempur. Mulai Madura Barat hingga Madura Timur. Puncaknya pulau garam
berhasil dikuasai.
Beberapa penguasanya gugur. Di Madura Barat
ialah Raden Koro. Di Pamekasan, gugur Panembahan Ronggosukowati, dan
penggantinya. Sementara di Madura Timur atau Sumenep, gugur Pangeran Lor II dan
Pangeran Cakranegara.
Nah, kala itu Madura pun masuk dalam
naungan Mataram. Meski sebagai penguasa-penguasanya tetap berasal dari trah
sebelumnya.
Masuknya Belanda dengan VOCnya memiliki
pengaruh selanjutnya dalam dinamika sistem pemerintahan di Madura. Madura
semacam negeri vasal. Karena Mataram sendiri yang diikat dengan
perjanjian-perjanjian akibat perang Trunojoyo dan pemberontakan-pemberontakan
para pangeran Mataram sendiri.
Sejak abad 17, dimulai dari Raden Prasena
alias Pangeran Cakraningrat I, perkawinan politik mulai berjalan.
Penguasa-penguasa Madura Barat itu banyak yang memperisteri para putri
raja-raja Mataram.
Tradisi selanjutnya memang banyak terjadi
perkawinan silang. Sehingga Madura-Mataram, yang selanjutnya Mataram terbagi
dalam banyak bagian, menjadi keluarga besar.
Sebut saja Pangeran Cakraningrat IV yang
menikah dengan putri Paku Buwono I Kartasura. Begitu juga putranya, Panembahan
Sido Mukti yang menikah dengan Ratu Maduretno, putri Sunan Amangkurat IV
Kartasura. Dari perkawinan itu lahir Sultan Bangkalan I. Leluhur
pembesar-pembesar Madura di masa mendatang.
Ng
1 Komentar
Sirno Pandito Kertaning Nagoro.
BalasHapusPanembahan Lemah Duwur menikah dg Putri Pajang (disini tdk jelas apakah putri jaka tingkir atau kah seorang perempuan dari negeri Pajang) itu tdk jelas apakah memiliki keturunan atau tidak.
Sedangkan R. Koro itu merupakan Putra dari Ratu Ayu Panembahan Lemah Duwur (Sepupunya sendiri yg merupakan putri dr. P. Pemangkan)- Sumber KZF.