Ilustrasi lukisan karya Reinier Nooms, sebuah
armada kapal Belanda ditampilkan berkumpul di Selat Dover di laut berombak. (Sumber: artuk.org)
Ngoser.ID – Dalam
sejarah perjalanan pemerintahan di nusa garam, pernah diceritakan tentang
“Perang” Madura Barat-Pamekasan.
Kisah tersebut sekaligus merupakan awal
terjadinya angin perubahan kekuasaan di kerajaan yang didirikan oleh Pangeran
Demang Plakaran. Sebuah penanda berpindahnya wahyu keprabon kerajaan Madura
Barat (atau Bangkalan saat ini) sekaligus pusat pemerintahan dari Tonjung Sekar
ke Sembilangan.
Peristiwa itu terjadi pada sekitar
1717-1718.
Kala itu Madura Barat di bawah pemerintahan
Cakraningrat III, dan Pamekasan di bawah pemerintahan Adikoro II (Raden Asral).
Adikoro II adalah menantu Cakraningrat III. Dalam catatan Zainalfattah dalam “Sedjarah
Tjaranja Pemerintahan di Daerah-Daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannja”,
menyebut sosok Adikoro I, namun di masa tersebut, Pamekasan justru berada di
bawah kendali Adikoro II. Sehingga kemungkinan, Zainalfattah keliru
mencantumkan angka romawi I.
Di suatu waktu, Adikoro II dikisahkan
bertengkar dengan isterinya. Sehingga sang isteri lantas pulang tanpa pamit
terlebih dulu pada suaminya.
Isteri Adikoro II itu pulang ke Madura
Barat. Oleh ayahnya, Cakraningrat III diterima.
Minggatnya sang isteri, membuat Adikoro II
murka. Beliau langsung bertolak ke Bangkalan. Sesampainya di sana, Adikoro II
dengan menjunjung tatakrama meminta kepada sang mertua untuk membawa pulang
isterinya kembali ke Pamekasan.
Namun permintaan itu justru ditolak oleh
Cakraningrat III. Hingga membuat Adikoro II marah. Namun ditahannya sambil
langsung kembali ke Pamekasan.
Sesampainya di Pamekasan, Adikoro II
langsung menyiapkan armada perang. Tujuannya satu, membawa paksa isterinya dan
berperang dengan Cakraningrat III.
Menghindari Perang Saudara
Cakraningrat III lantas memerintahkan
adiknya, Raden Jurit alias Pangeran Suroadiningrat untuk menghambat pasukan
Adikoro II sebelum masuk ibu kota Madura Barat.
Namun, di perjalanan, atas masukan salah
satu menterinya yang bernama Jangkewuh, Raden Jurit justru berbalik arah.
Setelah bertemu dengan Adikoro II, keduanya lantas bersepakat untuk memerangi
Cakraningrat III.
Alasannya, Cakraningrat III memang salah
dalam mengambil keputusan tidak memberikan kembali putrinya yang masih
berstatus isteri Adikoro II.
Pasukan gabungan Raden Jurit dan Adikoro II
itu menuju ibukota. Tujuannya untuk melawan dan sekaligus memberontak kepada
Cakraningrat III.
Mengetahui jika dirinya bakal berhadapan
dengan sang adik, rupanya Cakraningrat memilih menyingkir. Beliau tidak ingin
Bangkalan terjadi perang saudara, dan dibanjiri darah rakyatnya sendiri.
Upaya Cakraningrat meyakinkan Mataram dan
VOC tentang kejadian atau kondisi yang dialaminya rupanya tidak berbuah hasil.
Tahta Madura Barat malah langsung dialihkan
ke Raden Jurit dengan harapan bisa lebih didapatkan tenaganya dalam menopang
Mataram yang semakin rapuh.
Raden Jurit pun naik tahta dengan gelar
Pangeran Cakraningrat IV. Beliau memindahkan pusat pemerintahan dari Tonjung
Sekar ke Sembilangan.
Peristiwa Berdarah di Atas Kapal
Pangeran Cakraningrat yang tidak sudi
berperang dengan adiknya itu lantas menuju ke Kamal. Di sana beliau diterima
oleh serdadu VOC yang tengah berlabuh dengan kapalnya.
Kapten Kapal yang dalam buku Zainalfattah
dikenal dengan nama Kapten Kertas menyambut Cakraningrat dengan baik. Kapten
Kertas tetap menjunjung tinggi Cakraningrat III sebagai pemimpin negara Madura
Barat yang dipandangnya patut dibantu.
Di atas kapal, Cakraningrat III hanya
membawa salah satu isterinya, dua anak laki-lakinya yang sudah dewasa, dan
sedikit pengawal yang diajaknya menyingkir dari Tonjung Sekar.
Penyambutan di kapal itu bermula pada salah
paham. Saat itu isteri Cakraningrat III yang naik kapal belakangan disambut
Kapten Kertas dengan adat istiadat negerinya. Yakni dengan mengecup leher sang
isteri Cakraningrat III.
Kontan, isteri Cakraningrat yang tak paham
adat istiadat yang sejatinya penghormatan itu menjerit keras. Jeritan itu
didengar Cakraningrat III yang langsung menuju ke tempat isterinya.
Melihat sang isteri yang gemetar karena
terkejut, Cakraningrat III lantas menghunus kerisnya dan menusukkannya ke tubuh
Kapten Kertas hingga mati seketika.
Selanjutnya, Cakraningrat III dan kedua
putranya mengamuk sehingga seisi kapal alias puluhan serdadu Belanda itu hampir
habis jumlahnya. Ketiganya, tidak mempan senjata api.
Namun saat ketiganya kelelahan, beberapa
serdadu yang punya kesempatan memukulkan palu besi ke kepala Cakraningrat III.
Sang pangeran pun roboh dan dikeroyok ramai-ramai hingga gugur di atas kapal.
Setelah meninggal dunia, kepala
Cakraningrat III dipotong, dan tubuhnya dibuang ke laut. Kepala beliau lantas
dibawa ke Surabaya sebagai laporan kejadian itu. Cakraningrat III oleh warga
Madura Barat dikenal dengan gelar anumertanya, yaitu Pangeran Seding Kapal.
Ng
0 Komentar