Ngoser.ID – Sampang
jika diukur dari peringatan hari jadinya, usianya masih tak sampai empat abad.
Jika dibandingkan dengan tiga kabupaten
lain di Madura, Sampang merupakan anak keempat (bungsu) Nusa garam. Usianya masih di
bawah kota Pamekasan dan Bangkalan. Sedang yang tertua ialah Sumenep.
Namun usia tersebut diukur melalui
mekanisme ilmiah yang bernama seminar dengan mempertimbangkan hasil analisa
para pakar sejarah. Tentunya hal itu tidak untuk didebat dalam ruang media ini.
Ngoser.ID hanya mencoba mengurai sejarah
Sampang yang sifatnya banyak disandarkan pada cerita tutur dan folklore, namun
kelemahannya tidak memiliki sumber prasasti yang menjadi standar penulisan
sejarah sebagai ilmu.
Tentang Sampang, hari jadinya didasarkan
pada penobatan Raden Prasena yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai
Pangeran Adipati Cakraningrat I, Seding Magiri (Seda ing Imagiri) pada 23
Desember 1624 atau yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awwal.
Penobatan Prasena
Raden Prasena merupakan satu-satunya
pewaris tahta Madura Barat yang selamat dalam peristiwa invasi Mataram ke
Madura.
Prasena disukai Sultan Mataram dan
dinikahkan dengan adiknya. Selain itu Prasena juga menikah dengan Syarifah
Ambami, putri Pangeran Ronggo di Nepa, Sampang. Yakni keturunan dari Sunan Giri
I, Giri Kedaton, Gresik.
Situs Ratu Ibu di Madegan Sampang. (ngoser) |
Setelah tahta Madura Barat dikembalikan
pada Prasena oleh Mataram, Prasena memindahkan pusat pemerintahan di Sampang.
Kendati begitu Prasena tidak menghabiskan
waktunya di Madura. Beliau lebih sering ada di Mataram. Madura Barat diwakilkan
pada Pangeran Santomerta, pamannya. Santomerta adalah saudara kandung Ratu Ibu
Madekan, ibunda Prasena.
Sampang Sebelum Prasena
Dalam kisah babad atau folklore (cerita
rakyat), sebelum Prasena membangun ibu kota pemerintahannya, sekitar 2 abad
sebelumnya sudah ada struktur pemerintahan di Kota Bahari tersebut.
Zainalfattah menyebut nama Ario Lembu
Petteng sebagai wakil kuasa Majapahit di Sampang. Lembu Petteng diistilahkan
sebagai kuasa Sampang.
Istilah lainnya ialah Kamituwo atau Ronggo
atau Patih yang berkuasa penuh di suatu wilayah (zelfstandige).
Lembu Petteng disebut dalam beberapa
literatur sebagai salah satu anak Raja Majapahit penghabisan, dan dalam naskah
kuna Madura Barat juga memiliki garis nasab ke Sunan Giri I. Namun itu pun
perlu kajian lebih lanjut. Karena seringnya terjadi anakronisme dalam sejarah,
atau ketidaksesuaian masa hidup tokoh dengan catatan tahun yang disebutkan.
Lembu Petteng dikisahkan sempat turun
sebagai kamituwo, dan mengaji ke Sunan Ampel hingga wafat dan dimakamkan di
sana.
Sebagai penggantinya, diangkatlah Ario
Menger, anak laki-laki Lembu Petteng sebagai kamituwo. Keratonnya di Madekan.
Ario Menger digantikan anaknya yang bernama
Ario Pratikel. Pratikel menetap di Gili Mandangin atau Pulau Kambing, sebuah
pulau kecil di sebelah Selatan Sampang.
Ario Pratikel tidak punya anak laki-laki
hingga digantikan oleh Ario Pojok, menantunya.
Ario Pojok masih kerabat dekat Pratikel.
Leluhur Pojok, yaitu Ario Damar masih bersaudara dengan Ario Lembu Petteng.
Sampang Pasca Ario Pojok
Ario Pojok memiliki seorang anak laki-laki
bernama Pangeran Demang. Dalam tulisan lain bernama Pangeran Demong atau Kiai
Demung.
Pangeran Demang tidak menggantikan ayahnya
sebagai Kamituwo. Namun lebih suka bertapa. Hingga di kemudian hari beliau
mendirikan pusat pemerintahan baru di Madura Barat.
Beliau membangun keraton di Plakaran, dekat
Arosbaya (Bangkalan saat ini). Keratonnya dikenal dengan nama Keraton Anyar.
Nah, di kemudian hari Pangeran Demang
Plakaran menempatkan anak sulungnya sebagai Adipati di Sampang. Yaitu Raden
Adipati Pramono.
Pramono juga meneruskan leluhurnya dengan
menempati Madekan sebagai pusat pemerintahannya.
Pramono menikah dengan satu-satunya anak
Raja Pamekasan, Kiai Wonorono. Sehingga otomatis tahta Pamekasan juga dalam
kendali Adipati Pramono, yang selanjutnya dikenal juga dengan nama Pangeran
Bonorogo (Wonorogo).
Baru setelah Bonorogo wafat, Sampang dan
Pamekasan kembali dipecah dua.
Di Pamekasan diangkat Raden Ario Sena yang
di kemudian hari bergelar Panembahan Ronggosukowati (1530-1616).
Sementara di Sampang diangkat Pangeran
Adipati Pamadekan. Keduanya adalah anak dari Pangeran Bonorogo.
Sepeninggal Adipati Pamadekan, Sampang diperintah
oleh Pangeran Adipati Mertosari, cucu Pramono dari garis ibunya
Mertosari merupakan penguasa terakhir
sebelum peristiwa invasi Mataram ke Madura. Setelah beliau Sampang disatukan
dengan wilayah Bangkalan dalam kendali Raden Prasena.
Ng
0 Komentar