Kolase makam-makam kiai sepuh di Kampung Batang, Ambunten, Sumenep. (Ngoser) |
Ngoser.ID – Ambunten
merupakan kawasan penting di abad-abad awal Islamisasi di Madura timur (Sumenep).
Kawasan ini khususnya di daerah yang tak jauh dari pesisir (pantura) banyak
menyimpan jejak-jejak ulama besar yang memiliki jasa besar dalam pembumian
ajaran Islam. Di antaranya tiga ulama yang “berhenti” di wilayah—yang konon diambil
dari folklore ambu napa bunten (berhenti ataukah tidak)—ini.
Kiai Langgar Attas
Di sebuah dataran tinggi, di kampung
Batang, Ambunten, terdapat kompleks pemakaman sepuh. Jirat dan ornamen makam
begitu unik dan tua. Bentuk nisan maupun kijing hampir memiliki kesamaan dengan
nisan dan kijing beberapa makam kuna di Sumenep. Seperti ukuran, tinggi dari
permukaan tanah. Umumnya bentuk makam seperti itu produk abad 18 akhir atau 19
awal. Meski butuh uji khusus, terutama mengenai usia batu. Makam itu juga
memiki ornamen, seperti perlambang atau gambar tertentu. Makam tersebut juga
memiliki semacam dinding berbentuk gunungan, di belakang nisan bagian kepala.
Menurut cerita Nyai Hajjah Zainiyah, salah
satu warga sekaligus tokoh setempat, kawasan tersebut merupakan kompleks Asta
Kiai Langgar Attas.
Sebutan langgar attas semacam laqob,
nisbat pada tempat atau sesuatu. Seperti sebutan Kiai Sendir, Kiai Parongpong,
Kiai Barangbang, dan lain sebagainya. Secara maknawi langgar attas ialah
langgar (surau, mushalla) yang berada di atas, atau posisinya berada di dataran
tinggi suatu tempat. Sebutan Kiai Langgar sebenarnya sebutan umum bagi banyak
tokoh.
Pasarean Kiai Langgar Attas. (Ngoser)
Di beberapa tempat, banyak tokoh yang
disebut Kiai Langgar. Biasanya merujuk pada guru ngaji, atau tokoh agama yang
memiliki tempat khusus dalam mengajar (morok), bernama langgar atau mushalla.
Kiai Langgar Attas menurut Zainiyah
merupakan ulama sepuh di wilayah tersebut. Menurut kisah turun-temurun, Kiai
Langgar Attas merupakan tokoh ulama pendatang. Tidak ada keterangan mengenai
asal-muasalnya.
”Salah satu kisah menyebut beliau dari arah
Barat. Bisa jadi dari Bangkalan saat ini,” kata mertua K. H. Uwais Ali Hisyam
itu, beberapa waktu silam.
Menurut kisah setempat, Kiai Langgar Attas
datang bersama saudara laki-lakinya. Keduanya merupakan tokoh yang alim. Namun
karena perbedaan pendapat dan sistem pendekatan dakwah pada masyarakat, saudara
Kiai Langgar Attas memutuskan untuk hijrah dari Ambunten.
”Menurut riwayat hijrah ke Barangbang,
Sumenep,” ungkap Zainiyah.
Perbedaan itu menurut tutur, seputar metode
dakwah. Kiai Langgar Attas bersikap lebih terbuka terhadap adat istiadat
setempat. Sedang saudara beliau lebih keras dalam menerapkan hukum agama. Nah,
perbedaan tersebut tentu saja bisa berakibat tidak baik. Namun keduanya
memahami secara arif. Sehingga, memutuskan untuk berpisah.
Lalu siapa saudara Kiai Langgar Attas ini?
“Tidak ada riwayat soal beliau itu?” kata
Zainiyah.
Ngoser.ID lantas tertarik menelusurinya.
Pasalnya, hal tersebut kemungkinan terkait dengan tokoh kedua dari trio ulama
yang dibahas dalam edisi kali ini.
Tokoh kedua itu ialah Kiai Muban. Makamnya
berada di satu lokasi, namun di area tersendiri.
Kiai Muban
Di kampung Batang tersebut, Pasarean, atau
makam, atau maqbarah Sayyid Muban begitu terkenal. Para peziarah bahkan berasal
dari daerah luar. Sebutan sayyid tersebut berasal dari asal-usul sang tokoh
yang dalam banyak catatan silsilah di Sumenep khususnya, disebut sebagai keturunan
langsung Sunan Ampel, yang merupakan tokoh Wali Sanga dari golongan Saadah
Ba’alawi.
Catatan mengenai silsilah Sayyid Muban,
atau di catatan lain ditulis Kiai Muban, salah satunya terdapat di Buku
Silsilah Keraton Sumenep, tulisan tangan R. B. Abdul Fattah (1989). Kiai Muban
adalah putra Sayyid Syits atau Kiai Syits di Barangbang (yang masuk Desa
Kalimo’ok, Kecamatan Kalianget, Sumenep). Kiai Syits merupakan salah satu anak
lelaki Sayyid Zainal Abidin alias Sunan Cendana di Kwanyar, Bangkalan.
Pasarean Kiai Muban dan isterinya. (Ngoser)
Jika ditarik ke atas, begini silsilah Kiai
Syits: Kiai Syits bin Sunan Cendana bin Sunan Mufti bin Pangeran Musa (Sunan
Drajat) bin Sunan Ampel. Dalam catatan di maqbarah Sunan Cendana, tertulis
Sunan Cendana bin Sayyid Khatib bin Sunan Drajat bin Sunan Ampel.
Baik Nyai Zainiyah atau masyarakat
setempat, tidak ada yang bisa menjelaskan hubungan Kiai Muban dengan Kiai
Langgar Attas. Namun di catatan silsilah Kiai Muban jelas menuliskan Kiai Syits
di Barangbang sebagai ayah Kiai Muban.
Diduga, Kiai Syits ialah orang yang sama
dengan saudara laki-laki Kiai Langgar Attas yang hijrah dari Ambunten karena
beda metode dakwah, atau penerapan fiqih.
”Dugaan itu karena riwayatnya saudara Kiai
Langgar Attas hijrah ke Barangbang. Sedang di catatan silsilah, Kiai Syits
berdomisili di Barangbang. Nah, diperkuat dengan keberadaan asta Kiai Muban di
Kampung Batang, berdekatan dengan Kiai Langgar Attas. Maka kemungkinannya
begini, Kiai Muban tidak ikut hijrah bersama ayahnya, namun menetap bersama
pamannya, di Batang,” urai Ja’far Shadiq, dari Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser).
Meski begitu, hal tersebut tentu masih
membutuhkan penelusuran lebih lanjut. Namun, tidak bisa dipastikan hal itu
mudah. Karena catatan maupun riwayat tutur terkait dugaan tersebut masih belum
ditemukan.
Kiai Abbas
Kiai Abbas merupakan putra Kiai Muban.
Pasarean beliau berada satu lokasi dengan ayahnya, di Kampung Batang. Kijing
maupun nisan keduanya bisa dikatakan masih tidak mengalami perubahan
signifikan. Terutama maqbarah Kiai Abbas. Sedang maqbarah Kiai Muban mengalami
perbaikan, khususnya kijing yang dilapisi campuran semen.
Seperti halnya Kiai Muban, tidak banyak
diketahui riwayat Kiai Abbas. Masyarakat umum hanya mengenal beliau berdua
sebagai ulama besar yang keramat.
Pasarean Kiai Abbas bin Muban. (Ngoser)
Dalam catatan silsilah yang bersumber pada
buku di atas, Kiai Abbas merupakan ayah dari Kiai Abdul Alim, di Barangbang,
Kalimo’ok, Sumenep. Kiai Abdul Alim menikah dengan Nyai Tenggina, putri Kiai
Ali Barangbang. Dari pernikahan itu lahirlah Kiai Daud, yang menggantikan Kiai
Ali Barangbang.
Kiai Daud merupakan leluhur banyak ulama
besar di Sumenep dan menyebar ke beberapa kawasan Madura dan Jawa. Salah satu
keturunan Kiai Daud ialah Kiai R. B. Hasan bin Muharrar, sesepuh Pondok
Pesantren Loteng di Pasarsore, Karangduak, Sumenep. Pesantren tersebut
merupakan pesantren tertua di kawasan Kota Sumenep. Disebut Loteng karena
sebelumnya merupakan dalem (rumah) sekaligus markas militer Pangeran Kornel
(Kolonel) Nawawi, salah satu putra Sultan Abdurrahman Sumenep.
Ng
2 Komentar
Mantab. Teruslah gali informasi
BalasHapusSiap kakak...
Hapus