Kolase Pasarean Kiai Panglegur, di Desa Pabian, Kecamatan Kota Sumenep. (Foto: MC Sumenep)
Ngoser.ID – Kiai
Panglegur, nama ini hampir tidak ditemukan dalam literatur sejarah awal Sumenep.
Meski bagi sebagian warga Madura timur, nama ini terpatri dalam benak, dari
masa ke masa. Masyarakat bumi Sumenep menyebut tokoh ulama sepuh Sumenep ini
dengan nama Buju' (buyut, atau makam tokoh keramat) Panglegur.
Oleh karenanya, meski tidak populer di
dunia literasi sekaligus genealogi tokoh-tokoh awal Sumenep, Kiai Panglegur
cukup populer di kalangan para peziarah wisata religi di Sumenep. Panglegur
sendiri merupakan nama kawasan perkampungan yang secara administratif masuk
Desa Pabian. Kiai Panglegur atau Buju’ Panglegur bermakna kiai atau buju’
di kawasan Panglegur.
Dewasa ini, sedikitnya ada dua hal yang
dinisbatkan pada Panglegur. Yang pertama stadion Ahmad Yani Panglegur, dan yang
kedua makam Buju' Panglegur.
"Kalau Buju' Panglegur memang
dikenal sejak dulu sebagai makam keramat. Banyak yang berziarah ke beliau, dari
semua kalangan. Bahkan di kalangan keluarga keraton Sumenep, merupakan salah
satu rute ziarah selain Asta Tinggi, Sendir, Batuampar, Katandur, Raba dan Waru
Pamekasan, Parongpong, dan Barangbang," kata Ja'far Shadiq, salah satu
pemerhati sejarah di Sumenep.
Makam Buju' Panglegur terletak di
sebuah area pemakaman di Jalan Urip Sumoharjo, Desa Pabian. Lokasinya berada di
tengah persawahan. Namun di sekitarnya terdapat banyak rumah penduduk. Dalam
penelusuran Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser), Buju' Panglegur bernama
asli Kiai Syamsuddin.
"Sayangnya tidak ada keterangan
tentang asal usulnya," kata Ja'far yang juga salah satu personel Ngoser.
Kisah Buju' Panglegur terekam dalam
bentuk folklore, kisah lisan turun-temurun dan masyhur. Kisah itu tentang
karomah yang menjadi penanda kewaliannya. Menurut tradisi, Kiai Panglegur disebut
hidup sezaman dengan Kiai Imam di Desa Pandian. Makam Kiai Imam berada di Asta
Panyangagan, desa setempat. Kiai Imam dikenal sebagai salah satu guru Kiai
Raba, Pademawu Kabupaten Pamekasan. Kiai Raba adalah paman Kiai Abdullah
Batuampar, ayah Bindara Saot.
Kembali pada Kiai Panglegur yang diketahui
bernama Kiai Syamsuddin, dalam literatur babad dan tulisan tentang Sumenep awal
tidak ditemukan.
"Umumnya babad menulis nama julukan
tokoh. Seperti Kiai Sendir, Kiai Talang Prongpong, Kiai Batuampar dan
lainnya," kata Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah lainnya.
"Jarang yang menyebut secara detil
dengan nama aslinya," tambah Nurul.
Meski demikian, dalam naskah-naskah kuna
yang berceceran, ngoser.id menemukan setidaknya dua tokoh bernama Kiai
Syamsuddin. Kiai Syamsuddin yang pertama ialah nama mertua Pangeran Katandur,
Sang Wali Nandur asal Negeri Kudus. Dan Kiai Syamsuddin yang kedua ialah salah
satu anak Kiai Ali Barangbang.
"Kalau dikomparasikan dengan masa Kiai
Raba, yang masa kecilnya bertemu dengan Kiai Imam, maka kemungkinan Kiai
Syamsuddin mertua Pangeran Katandur ini identik dengan Kiai Panglegur,"
kata Ja'far Shadiq.
Kiai Raba diyakini hidup pada abad 17.
Dalam naskah babad (Werdisastra, 1914), Kiai Raba setelah dewasa mengaji ke
Kiai Khatib Sendang salah satu anak Pangeran Katandur.
"Meski sekadar dugaan yang memerlukan
kajian lagi, diperkirakan masa Kiai Syamsuddin, mertua Pangeran Katandur ini,
sezaman dengan Kiai Syamsuddin Buju' Panglegur," jelas Ja'far.
Makam Kiai Panglegur sudah tidak original.
Situsnya sudah hilang. Makam beliau berada di sebuah bangunan cungkup. Di dalam
cungkup ada dua makam lainnya yang nisannya masih kuna. Dari nisannya menandakan
nisan tokoh perempuan. Di depan cungkup terdapat sebuah pendapa kuna berukuran
mini. Bahannya dari kayu jati yang masih kuat.
(Tulisan ini pernah tayang di Media
Center Sumenep dan InfoPublik.id)
Ng
0 Komentar