Komplek Pasarean Raden Ardikusumo I di Asta Tinggi. (Ngoser) |
Ngoser.ID – Selain
jadi ikon Madura timur (Sumenep), kuda terbang Jokotole juga menjadi mitos dari zaman ke
zaman. Seperti tentang sebagian cerita tutur yang mengatakan bahwa kuda terbang
Jokotole masih hidup hingga ratusan tahun setelah ditinggal sang empunya. Mitos
ini berkembang menjadi cerita rakyat. Salah satunya kisah tentang pemilik lain
kuda terbang Raden Ardikusumo dan Pangeran Le'nan, di Sumenep. Lalu siapa kedua tokoh ini? Kita mulai dari Raden Ardikusumo.
Bermula dari Panyangagan, yaitu salah satu komplek
pemakaman umum di Sumenep yang di dalamnya banyak terdapat situs makam kuna. Di antara situs-situs kuna tersebut terdapat makam salah
satu tokoh yang di nisannya teridentifikasi sebagai Raden Ardikusumo.
Sumber lisan mengatakan bahwa beliau
merupakan salah satu pembesar Sumenep yang disegani.
Babad Songennep tulisan Raden Werdisastro
menyebut nama beliau sebagai salah satu putra Nyai Izza, mantan istri Bindara
Saot, dengan Kiai Samporna. Kiai Samporna merupakan salah satu tokoh ulama di kawasan Samporna, Kecamatan Pasongsongan, Sumenep.
“Nama Raden Ardikusumo ini dipakai oleh
beberapa tokoh. Nama ayah dipakai anak. Istilah Jawanya nunggak semi. Jadi
turun-temurun. Dalam riwayat keluarga ada sampai Ardikusumo kapeng empa’
(yang keempat; red),” kata R. B. Moh Fajar, salah satu keturunan Raden
Ardikusumo.
Dalam catatan ditulis Raden Ardikusumo I,
lalu Raden Ardikusumo II, dan seterusnya. Namun yang banyak dikenal
ketokohannya di lingkungan cerita tutur keluarga Keraton Sumenep ialah Raden
Ardikusumo I dan putranya, Raden Ardikusumo II.
Meski ada riwayat mengenai tokoh ini,
banyak generasi muda yang tidak mengetahui kiprahnya. Pusaranya juga hampir
dilupakan.
Tim dari Komunitas Ngoser (Ngopi Sejarah)
Sumenep sempat menelusurinya. Hasilnya, pasarean yang terdeteksi pertama tersebut ialah
pasarean Raden Ardikusumo II, yaitu putra Raden Ardikusumo I, tokoh yang menurut tutur para sepuh di Keraton Sumenep, sebagai salah satu pewaris kuda terbang.
“Karena posisinya kumpul di pemakaman umum,
memang sempat kesulitan menemukannya,” kata Ja’far Shadiq, anggota Ngoser beberapa
waktu silam.
Pasarean Raden Ardikusumo II bin Raden Ardikusumo I di Asta Panyangagan, Desa Pandian, Sumenep. (Ngoser) |
Sekitar 2019 lalu, Ngoser menindaklanjuti
penemuan dengan melakukan perbaikan sederhana dengan melibatkan ahlinya.
“Sudah dilakukan juga pemberian akses jalan
paving bersama tokoh-tokoh masyarakat yang peduli, di antaranya Kiai Rahem
Usymuni dari Ponpes Tarate,” ungkap Iik Guno Sasmito, personel Ngoser lainnya.
Jalan paving sepanjang kurang lebih 21
meter mempermudah akses ke makam saat ini.
Tersingkapnya Tabir
Ada kisah tersendiri mengenang penemuan makam
“pewaris” kuda terbang Jokotole, Ardikusumo I. Sekitar akhir medio 2019,
menindaklanjuti keterangan Moh. Fajar, narasumber di atas. Sedikit info, Raden
Ardikusumo I dan putranya, Raden Ardikusumo II, merupakan tokoh alim besar di
masa dinasti terakhir Keraton Sumenep.
Berdasar keterangan keluarga besar Fajar,
pasarean R. Ardikusumo kapeng settong (yang pertama; red) berada di Asta
Tinggi. Tentu saja keterangan itu dilengkapi dengan minimnya petunjuk.
Investigasi pun dimulai. Bersama Tim Ngoser
penelusuran dimulai dari komplek atau kawasan di Banasokon. Sekitar 100 meter
sebelum kaki bukit Asta Tinggi.
Di situ ada beberapa makam kuna. Salah
satunya makam Ummi atau Ibunda dari Pangeran Letnan Kolonel Hamzah. Sang
pangeran merupakan salah satu putra utama Sultan Sumenep.
“Ada keterangan dari keluarga besar Rumah
Panggung Kepanjin bahwa ibunda Pangeran Le’nan adalah salah satu putri Raden
Ardikusumo I,” kata Imam Alfarisi, anggota Tim Ngoser juga.
Cungkup pasarean Ibunda Pangeran Le'nan di Banasokon, kawasan Asta Tinggi, Desa Kebunagung, Sumenep. (Ngoser) |
Dari keterangan itu, dengan demikian
terdapat benang merah dengan kisah kuda terbang yang diwariskan pada Pangeran
Le’nan dan Raden Ardikusumo.
Pangeran Le’nan adalah cucu Raden
Ardikusumo I. Dengan kata lain Raden Ardikusumo I juga merupakan mertua Sultan
Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat.
“Soal kisah Raden Ardikusumo memiliki kuda
gaib yang bisa terbang memang diceritakan turun-temurun di keluarga kami.
Termasuk juga kisah Pangeran Le’nan dengan kuda terbangnya,” kata almarhum R.
P. Abdurrahman, salah satu cicit Raden Ardikusumo II, sebagaimana yang
ditirukan adiknya R. Aj. Munirah.
Kembali pada jejak pasarean Raden
Ardikusumo I, tidak hanya buram, namun ibarat kertas putih, kosong. Sejumput
informasi yang ada laksana bayang-bayang, hanya menemani aksi penelusuran Tim
Ngoser, namun bisu dan tentu saja semu.
“Setelah melakukan penelusuran di lokasi
sekitar pasarean Ibunda Pangeran Le’nan di sekitar Banasokon, Kebunagung,
hasilnya nihil. Petunjuk yang ada menghibur Tim dengan sebatas membuat
dugaan-dugaan. Namun, tentu kita tak berani menentukan selama tidak ada
petunjuk jelas semacam prasasti,” kata Ja’far Shadiq, narasumber di atas.
Hingga suatu saat di kesempatan berbeda,
tanpa sengaja pula, salah seorang anggota Ngoser membaca prasasti sebuah makam
kuna di dekat kawasan utama Asta Tinggi.
“Tepatnya di luar pagar Asta Tinggi, bagian
Timur,” kata Ja’far.
Di sana ada sebuah model makam yang
istimewa, meski tak terawat. Model kijingnya berbeda dengan model makam-makam
keluarga dinasti terakhir. Sehingga, sepintas tak pernah terduga sama sekali
jika di situ adalah pasarean tokoh yang dicari-cari selama itu. Yaitu Raden
Ardikusumo I.
“Pertama yang teridentifikasi ialah makam
Raden Ayu Ardikusuma. Nah, baru dipastikan makam di sisi atau sebelah baratnya
ialah makam sang suami, yaitu Raden Ardikusuma,” kata Iik Guno Sasmito,
personel Ngoser lainnya.
Raden Ayu adalah gelar kebangsawanan pada
perempuan. Gelar itu mengandung dua makna. Salah satu maknanya ialah nyonya
dari atau istri dari seseorang bangsawan bernama fulan. Ardikusumo merupakan
nama pria. Sehingga ketika ada tulisan nama Raden Ayu Ardikusumo, maka maknanya
ialah istri dari Ardikusumo.
“Beda ketika ada nama Raden Ayu Zainab. Itu
memang nama aslinya. Artinya bukan istri dari Zainab. Karena Zainab nama yang
umum dipakai seorang perempuan,” jelas Iik
Penemuan itu pas dengan info lisan. Bahwa
Makam Raden Ardikusumo I berada di kawasan Asta Tinggi. Dan adanya prasasti
menguatkan hal itu. Info kedua tentang putranya, yaitu Raden Ardikusuma II,
makamnya terletak di Asta Pacangagan seperti yang telah diulas di muka.
Hingga tahun ini, perawatan makam “sang
pewaris” secara swadaya sudah dilakukan beberapa tahap, namun tanpa mengganti ataupun mengubah
situs asli.
Qodi Keraton
Menurut hasil wawancara dengan RB Moh
Fajar, salah satu keturunan Raden Ardikusumo, leluhurnya merupakan tokoh besar
keraton yang disegani.
“Raden Ardikusumo adalah sosok alim besar.
Sehingga, Sultan Sumenep kala itu mengangkat beliau sebagai penghulu keraton
atau Qodi,” kata Fajar, beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, Raden Ardikusumo dikenal
sebagai ahli falak di masanya. Sehingga dalam keadaan yang terkait dengan
kenegaraan, selalu meminta nasihat beliau.
“Bahkan beliau dikenal dengan kasyafnya.
Sehingga misal, raja mau menikah, mau berperang dan sebagainya, jika Raden
Ardikusumo menentukan waktu hari, tanggal, dan jamnya, pasti diikuti,” kata
Fajar.
Komplek Pasarean Raden Ardikusumo I setelah mengalami perawatan. (Ngoser) |
Meski disegani, Raden Ardikusuma dikenal
sosok yang low profile. Beliau juga dikenal zuhud, dan tawadlu’.
“Namun banyak karomah-nya, tanpa harus diceritakan di sini,” imbuh Fajar.
Secara genealogi, Raden Ardikusuma I
merupakan saudara seibu Panembahan Sumolo. Jadi, Sultan Abdurrahman adalah
keponakan Raden Ardikusumo I.
Raden Ardikusumo I berputra Raden
Ardikusumo II. Raden Ardikusumo II berputra Raden Ayu Lathifah, Raden Ayu
Halimah, dan diperkirakan seorang laki-laki yang juga bergelar Ardikusumo.
“Setelah Ardikusumo I wafat, yang
menggantikan sebagai penghulu keraton ialah Ardikusumo II yang juga dikenal
alim dan keramat. Makamnya di Pacangagan, Pandian,” tutup Fajar.
Ng
0 Komentar