Pasarean Kiai Bayan (nisan berkain hijau), di Waru, Pamekasan, (Ngoser.ID) |
Ngoser.ID – Pengalaman
ini terjadi bertahun-tahun lalu. Sekitar empat tahun lampau. Tepatnya di akhir
Juli 2018. Saat itu, meski belum pernah merasakan berkendara di sirkuit, jalan
yang dilalui Ngoser.ID hampir mirip dengan pemandangan sirkuit di
tivi-tivi yang menayangkan balap motor. Jalannya lumayan mulus, sesekali saja
ada gangguan kecil tak berarti. Lebarnya juga lumayan. Namun tak seperti
suasana sirkuit biasanya, di sini lebih menarik. Pemandangan alam yang alami,
khas pegunungan.
Ya, wilayah yang kala itu dilalui media ini
memang dataran tinggi. Semacam bukit. Masyarakat setempat dan sekitarnya menyebutnya
kawasan gunung. Namun bukan secara harfiah, melainkan sekadar sedikit
dilebihkan.
Madura memang tidak mempunyai gunung. Bisa
dicek di dalam buku peta, atlas, atau semacamnya. Meski di beberapa tempat
memang ada yang disebut dengan awalan gunung. Seperti Gunung Gegger di
Bangkalan, Gunung Payudan di Sumenep. Begitu juga di Pamekasan, di lokasi yang
diceritakan di muka, Gunung Waru. Sebutan Gunung Waru sejatinya tidak lazim.
Yang banyak dikenal ialah daerah Lao’ Gunong (Bahasa Madura, yang
bermakna selatan gunung), yang berada di kawasan kecamatan Waru, Pamekasan.
“Gunung-gunung” yang disebut tadi karena
merupakan dataran tinggi lebih dari biasanya atau lebih tepatnya disebut bukit.
Namun, bahasa Madura sepertinya menyamaratakan dengan “menghemat” kosakata.
Sebutan gunong (gunung) bisa bermakna gunung, atau bukit. Madura sendiri
seperti disebut tadi memang tidak memiliki gunung atau pegunungan.
Kembali pada lokasi “sirkuit”. Setelah
sekitar 15 menit melaju sedang dari perempatan Pakong, Pamekasan, Ngoser.ID
sampai ke desa Waru Timur, kecamatan Waru. Nah, jalan “sirkuit” berganti lokasi
“cross”. Jalannya sudah tidak mulus. Agak sempit juga. Menanjak-menurun dengan
tajam. Pemandangan di kedua sisi jalan agak mencolok. Selatan jalan merupakan
jurang dalam dan luas, berupa “miniatur” pedesaan. Sedangkan di utara jalan
merupakan tebing tinggi dan terjal. Kurang lebih memakan perjalanan 10 menit
hingga sampai di sebuah rumah yang memberi petunjuk lokasi yang media ini tuju.
“Sudah dekat, Pak. Tapi sebaiknya jalan
kaki saja, karena ada perbaikan jalan. Lewat tabun saja, lebih dekat,” kata
seorang wanita paruh baya yang lagi sibuk dengan pekerjaan sehari-harinya
melayani pembeli di toko kecilnya.
“Kalau boleh, kami ingin menitip kendaraan
di sini,” kata Ngoser. Yang diiyakan oleh wanita tadi.
Ngoser pun
bergegas ke arah timur. Melewati jalan setapak, menyisir tabun yang
menyambungkan jalan ke Asta Buju’ Bayan. Asta seorang ulama besar di Pamekasan
yang dikeramatkan hingga saat ini. Peringatan haulnya setiap tahun, di bulan
Muharram.
“In sya Allah, tahun ini digelar
lagi. Saat ini sedang dilakukan pelebaran jalan. Atas titah kiai di Bata-bata,”
kata seorang warga yang kami temui di jalan menuju asta, tahun itu.
Tak sampai 5 menit, Ngoser sudah
sampai di area asta. Masuk ke sebuah cungkup yang merupakan peristirahatan
terahir Buju’ Bayan. Uluk salam, duduk bersila, dan menggelar tahlilan singkat.
Asal-usul
Buju’ Bayan atau Kiai Bayan merupakan ulama
besar yang dikenal sebagai waliyullah agung Pamekasan, yang berdomisili di
Waru.
Berdasar catatan silsilah Sumenep yang
disusun oleh Kiai R. B. Mohammad Mahfudh Wongsoleksono, Wedana Kangayan, Kiai
Bayan adalah putra dari Nyai Agung (Waru) dan Kiai Waru I atau Kiai Agung Waru.
Sebutan Kiai Agung merupakan sebutan umum
bagi tokoh awal yang membabat suatu tempat, dan menduduki peran sebagai jujukan
masyarakat dalam menimba ilmu agama, maupun dalam menjalani hidup keseharian
yang butuh tuntunan ulama. Di Raba misalnya, sebutan Kiai Agung bagi Kiai Raba
I, yaitu Kiai Abdurrahman. Di Sendir juga ada Kiai Agung Rahwan. Di Batuampar
Timur, Sumenep, ada Kiai Agung Abdullah, dan lainnya.
Sementara Nyai Agung adalah putri dari
Raden Entol Janingrat, yang masih berkerabat dengan Keraton Sumenep dan
Pamekasan. Raden Entol Janingrat bersaudara dengan Raden Entol Anom atau Raden
Onggodiwongso, Patih Sumenep. Dari garis laki-laki, Raden Entol Janingrat dan
Raden Entol Anom bersambung hingga Pangeran Sosrodipuro atau Pangeran Saba Pele,
Sampang.
Baca Juga: Hingga Kini Belum Wafat, Kisah Nyai AgungWaru dari Abad 18
Sementara Kiai Waru I, ayah Kiai Bayan,
menurut catatan silsilah Pamekasan, seperti yang di antaranya dipegang oleh
Bindara Ilzam (Banyumas), Bindara Badri (Pakong), dan Bindara Nurul Yaqin
(Pasean), disebut putra dari Kiai Hakimuddin atau Kiai Pandita, Teja.
Menurut Silsilah Keluarga Keraton Sumenep
(1989), Sejarah Sumenep (2003), dan catatan-catatan bersumber sama, Kiai
Hakimuddin adalah putra Kiai Cendana atau Sunan Cendana Kwanyar Bangkalan.
Catatan-catatan itu, selain menyebut Kiai Waru I dengan sebutan Kiai Bayan
Waru. Selain itu Kiai Hakimuddin juga disebut berputra Kiai Modin Teja, mertua
Kiai Agung Raba.
Wali Yang Membujang
Mencari riwayat Kiai Bayan secara utuh
begitu sulit. Hampir tak ada yang khusus menyusun catatan peri kehidupan
beliau. Mulai sejak kanak-kanak hingga dewasa dan wafatnya. Bagaimana
kiprahnya, perannya dan ketokohannya seakan ditutupi nama besarnya saja sebagai
Buju’ Bayan. Sosok keramat yang dikenal dengan banyak karomahnya. Kisah-kisah
karomah itu juga merupakan riwayat lisan, yang tak utuh alias berserakan,
karena berasal dari beberapa sumber. Ngoser.ID hanya mencoba merangkai
potongan-potongan kisah itu.
Sedikit gambaran yang didapat Ngoser,
sosok Kiai Bayan begitu melegenda, khususnya di kalangan keluarga kiai-kiai di
Pamekasan dan Sumenep yang memiliki garis silsilah pada Nyai Agung dan Kiai
Waru I. Selain itu, keluarga keraton Sumenep hingga saat ini sangat ta’zhim
pada sosok ini, sebagaimana ta’zhimnya pada Kiai Agung Raba di Pademawu. Kedua tokoh
tersebut memang merupakan sesepuh keluarga Keraton Sumenep dari dinasti Bindara
Saot, yaitu sejak pertengahan abad 18.
“Tradisi kuna dahulu, biasanya yang sering
diziarahi para sesepuh ada tiga untuk kawasan Madura, selain di Sumenep
sendiri. Yaitu Asta Kiai Abdurrahman Raba, Kiai Bayan Waru, dan Sunan Cendana
Kwanyar,” kata R. P. Mohammad Mangkuadiningrat, salah satu anggota keluarga
keraton Sumenep, sekaligus salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.
Kiai Bayan dikenal berdasar cerita lisan
sebagai tokoh yang penuh karomah sejak kanak-kanak. Salah satu kegemarannya
ialah bermain lajangan (layang-layang).
“Jika layangan yang diterbangkan itu tidak
lurus posisinya, beliau lalu berjalan menaiki tali layangan, dan sesampainya di
atas diperbaiki sehingga posisinya lurus dan gerakannya tidak miring pada salah
satu arah kanan atau kiri,” kata Mohammad Mangkuadiningrat.
Hampir senada, bertahun silam, Kiai Barmawi
Ma’lum, pengasuh Pesantren Arongan, Ganding, Sumenep yang masih bersusur-galur
pada salah satu saudara Kiai Bayan, mengatakan bahwa Kiai Bayan biasa terbang
dengan mengendarai layangannya ke mana-mana. “Seperti dikisahkan bahwa beliau
pernah mengaji ke Sampang dengan menaiki layangan,” kata kiai sepuh tersebut di
suatu waktu bertahun-tahun lalu.
Keseharian Kiai Bayan hampir banyak
menunjukkan karomah namun dari sisi jadzab (di luar kebiasaan). Kata-katanya
juga banyak dikisahkan mirip tokoh-tokoh sufi yang sering mengalami fana’.
Beliau juga dikenal sebagai wali yang kata-kata atau do’anya langsung mustajab.
Kiai Bayan atau Kiai Waru II ini juga
dikenal tidak menikah alias membujang hingga akhir hidupnya. Di catatan K. R.
B. Mahfudh di atas, beliau mengambil keponakannya sebagai anak, yaitu anak
laki-laki Bindara Fata bin Kiai Waru I. Sang keponakan ini yang kemudian mengganti
Kiai Bayan, dan bergelar Kiai Waru III.
Ng
0 Komentar