Pasarean Nyai Izzah di Asta Lembung, Lenteng, Sumenep. (Ngoser) |
Ngoser.ID – Pertengahan abad 18 merupakan puncak peradaban di Madura Timur atau Sumenep. Masa itu merupakan awal kejayaan sekaligus penutup masa keraton.
Seperti diketahui, angin perubahan terjadi di Madura Timur dengan masuknya kalangan “santri” ke dalam tembok keraton. Dimulai dari bertahtanya Bindara Saot yang bergelar Kangjeng Raden Tumenggung Ario Tirtonegoro sebagai Adipati Sumenep 1750-1762.
Bindara Saot menikah dengan Ratu Rasmana, penguasa Sumenep dari dinasti Yudonegoro.
Rasmana adalah penguasa penutup dari dinasti Yudonegoro. Beliau adalah adik Pangeran Jimat alias Cakranegara III (Adipati Sumenep 1721-1744). Keduanya sama-sama anak Pangeran Rama alias Cakranegara II (adipati Sumenep 1678-1709).
Dari pernikah Bindara Saot dan Ratu Rasmana tidak membuahkan keturunan. Tahta pun akhirnya jatuh pada anak Bindara Saot dari isteri pertamanya, Nyai Izzah.
Dua Tanah Keramat
Nyai Izzah lahir di Prongpong, dari pasangan Kiai Jalaluddin dan Nyai Galuh. Kiai Jalaluddin adalah anak Nyai Ceddir Lembung. Nyai Ceddir dikenal dengan karomahnya, yang menyebabkan sang suami, Kiai Ceddir, insyaf.
Sementara Nyai Galuh adalah anak Kiai Khatib Bangil Prongpong dan Nyai Salama putri Kiai Modin Teja Pamekasan.
Prongpong dan Lembung menjadi tanah keramat bagi kalangan keraton, khususnya di lingkup keluarga besar dinasti terakhir Keraton Sumenep.
Sepeninggal Kiai Ceddir, di Lembung bermukim Kiai Faqih, putra Kiai Khatib Bangil. Kiai Faqih dikenal sebagai ahli fiqih, dan sekaligus budayawan.
Dengan menetapnya Kiai Faqih di sana, Lembung lambat laun menjadi pusat jujukan para penimba ilmu. Pesantren Lembung terkenal, sehingga banyak yang nyantri di sana.
Selain Nyai Galuh, Kiai Faqih juga memiliki beberapa saudara, yaitu Nyai Narema dan Kiai Bungso.
Nyai Narema menikah dengan Kiai Abdullah alias Entol Bungso (Kiai Agung Batuampar). Dari pernikahan itu lahirlah Bindara Saot.
Bindara Saot sejak kecil mengaji pada pamannya itu di Lembung. Karena juga dikenal alim, sejak masih muda Bindara Saot sudah dijadikan wakil Kiai Faqih, morok (mengajar) di Lembung).
Setelah dewasa, Bindara Saot dijodohkan dengan Nyai Izzah yang masih saudara sepupunya. Seperti disebut di muka, ibu Nyai Izzah dan ibu Bindara Saot bersaudara.
Akhirnya Nyai Izzah pun ikut sang suami ke Lembung. Apalagi, di Lembung juga ada Nyai Ceddir, neneknya.
Dari pernikahan tersebut lahirlah dua anak laki-laki, yaitu Baha’uddin dan Asiruddin.
Kelak Asiruddin menggantikan ayahnya, Bindara Saot sebagai penguasa Sumenep.
Asiruddin yang awalnya bergelar Pangeran Natakusuma, memerintah Sumenep sejak 1762-1811.
Asiruddin lantas bergelar Panembahan. Masyarakat Sumenep menyebut beliau Panembahan Sumala. Maknanya, penguasa Sumenep yang mula-mula bergelar Panembahan.
Sumala dikenal sebagai sosok yang tegas, keras, dan alim. Di masanya berdiri bangunan keraton dan masjid Jami’.
Pengganti Sumala, Abdurrahman, dikenal sebagai penguasa Sumenep yang terbesar dalam sejarah Madura Timur. Beliau satu-satunya penguasa Sumenep yang bergelar Sultan.
Sultan Abdurrahman (1811-1854) dikenal sebagai cendekia, dan ahli politik ulung. Pribadinya begitu dekat dengan rakyat. Disegani pihak kolonial maupun penguasa-penguasa luar.
Asta Lembung
Menurut riwayat, Nyai Izzah setelah mengetahui Bindara Saot menikah lagi, meminta ditalak. Dalam versi lain, ditalak Bindara Saot karena menolak ikut serta ke keraton.
Setelah masa iddah, Nyai Izzah menikah lagi dengan Kiai Samporna, Penghulu Ambunten. Dari pernikahan itu lahir Kiai Cakrayuda, Raden Ardikusuma, Raden Jayakusuma, dan Raden Surakusuma.
Makam Nyai Izzah berada di kawasan Asta Lembung. Beliau berada satu komplek dengan Nyai Ceddir. Sementara di komplek lainnya, terdapat cungkup makam Kiai Faqih.
Ng
0 Komentar