Kolase makam K. Abdul Karim Balang, di Pakondang, Rubaru, Sumenep, Madura. (Foto: Ng)
Kecamatan Rubaru, Kabupaten Sumenep menyimpan banyak jejak sejarah. Tak hanya yang berkaitan dengan pusat pemerintahan Sumenep zaman doeloe. Di sekitar kecamatan ini juga banyak terdapat jejak tokoh-tokoh agama di masa lampau. Salah satunya di Kampung Balang, Desa Pakondang.
Ngoser.ID – Di kampung yang ditempuh dengan naik turun jalan perbukitan itu menyimpan jejak sejarah kuna. Asta Buju’ atau Agung Balang. Kondisi asta Balang ini hampir lebih tujuh puluh lima persen masih original. Hampir tak ada sentuhan tangan manusia yang berakibat hilangnya nilai sejarah. Namun sekitar dua puluh persen sudah tak bisa disebut situs. Sebab sudah diperbarui di masa kini.
“Ya, memang dari dulu pasarean Buju’ Balang, khususnya yang sepuh tidak direnovasi, namun dibiarkan,” kata Ardiyanto, salah satu warga Desa Pakondang yang menemani media ini, beberapa waktu lalu.
Pasarean yang sepuh itu milik Kiai Abdul Karim, sosok yang pertama kali mendiami bumi Balang. Kiai Abdul Karim berasal dari Madura Barat. Dalam catatan silsilah Bani Balang yang diperlihatkan oleh H. Thalabuddin, penerus estafet yang merawat Asta Balang, Kiai Abdul Karim disebut putra Kiai Syits bin Sunan Cendana, Kwanyar, Bangkalan. Catatan ini sepertinya berkiblat pada Catatan Keluarga Keraton Sumenep khususnya di Ponpes Loteng Pangeran Kornel, Pasarsore, Karangduak, yang juga memiliki jalur ke Kiai Syits dari putranya yang kesohor: Kiai Muban, Ambunten.
Kiai Abdul Karim diceritakan membabat wilayah Balang dan mendirikan pusat belajar agama. Sementara sebutan Balang menurut sesepuh di sana ialah kependekan dari Hulubalang.
“Kabarnya Kiai Abdul Karim ini pernah menjadi Hulubalang Mataram. Bahkan beliau ini menikah dengan putri keraton Mataram,” kata Ardi, sapaan Ardiyanto.
Senada dengan Ardi, H. Thalabuddin mengatakan bahwa riwayat di situ menyebutkan bahwa Kiai Abdul Karim memang pernah menetap di Mataram. Putri keraton Mataram yang dinikahi Kiai Abdul Karim, disebut Kiai Thalabuddin bernama Siti Khalifah. Siti Khalifah ini menurut catatan Balang dikatakan putri dari Sultan Agung Mataram.
“Pada suatu waktu, Kiai Abdul Karim dan isterinya hijrah dari Mataram ke Madura. Entah bagaimana latar belakangnya kenapa sampai menetap di tempat yang sampai saat ini dikenal dengan nama Balang ini,” imbuhnya.
***
Sebenarnya, jika merujuk pada asal-usul Kiai Abdul Karim, tentu banyak alasan kenapa harus memilih pulau garam sebagai tempat hijrahnya. Ayahnya, Kiai Syits adalah trah Sunan Cendana. Dalam sejarah, Sunan Cendana merupakan salah satu pangeran dari Giri Kedaton yang sangat dihormati oleh kerajaan Mataram. Beliau disebut memiliki gelar Pangeran Purnajaya atau Purnajiwa.
“Di Madura yang jelas banyak sanak famili Kiai Abdul Karim. Ayahnya, Kiai Syits diriwayatkan pernah menetap di Barangbang, Kalimo’ok, Kalianget. Kiai Syits dikenal juga memiliki putra yang bernama Kiai Muban, leluhur kiai-kiai di Barangbang, dan beberapa kawasan di Jawa Timur,” kata salah satu pemerhati muda sejarah di Sumenep, R. B. Nurul Hidayat, pada media ini.
Menurut Nurul, keluarga trah Sunan Cendana memang banyak memainkan peran penting dalam proses Islamisasi di Madura. “Hampir bisa dipastikan, para ulama, umara, di Madura jaman lampau hingga kini memiliki pertautan darah pada Beliau,” imbuhnya.
Menantu Sultan Agung?
Seperti yang diungkap H. Thalabuddin di muka, Kiai Abdul Karim beristerikan Siti Khalifah yang disebut putri Sultan Agung Mataram yang memerintah 1613 – 1645 M. Sementara dalam sejarah, Sunan Cendana, buyut Kiai Abdul Karim, diperkirakan hidup di masa yang sama.
“Riwayat Balang turun-temurun memang menyatakan begitu. Namun mesti ditelusuri ke Jawa. Khususnya tepas darah keraton Mataram,” kata Ahmad Irfan AW, salah satu keluarga pesantren Annuqayah Guluk-guluk, yang memiliki garis silsilah ke Kiai Abdul Karim bin Syits.
Namun, meski kurang diyakini sebagai menantu Sultan Agung, berdasar komparasi masa dengan Sunan Cendana, tidak menutup kemungkinan isteri Kiai Abdul Karim bin Syits berasal dari keluarga keraton di Mataram. Mengingat buyutnya, Sunan Cendana, yang pernah berada di lingkaran penguasa Mataram. Sunan Cendana juga berasal dari keluarga Giri Kedaton atau Kerajaan Giri. Kala itu biasa terjadi hubungan pernikahan antara keluarga Wali Songo dengan kerajaan di Jawa.
Agung Balang
Di sebelah timur daya pasarean Kiai Abdul Karim bin Syits ada sebuah kawasan makam yang diatapi. Jika dilihat dari pintu gapura untuk masuk ke kompleks Asta Balang, tentu tidak akan menyangka bahwa makam utama berada di sebelah barat kompleks makam yang diberi atap tersebut. Apalagi memang dari luar, jalan utama menuju Asta Balang lurus dengan kompleks makam beratap itu.
“Makam yang diatapi itu kompleks makam keturunan Kiai Abdul Karim, yang juga bernama sama,” kata Thalabuddin.
Di kompleks pemakaman yang diatapi itu memang ada sebuah makam yang memiliki prasasti huruf latin. Bertuliskan “Kiai Abdul Karim Agung Balang”.
Kiai Abdul Karim tersebut menurut H. Thalabuddin adalah keturunan Kiai Abdul Karim bin Syits. Nasabnya jika diurut, Kiai Abdul Karim bin Agung Jihar bin Kiai Abdul Quddus bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Syits.
Salah satu keluarga Bani Balang, Almarhum H. Kurniadi Widjaja beberapa tahun silam pernah menjelaskan bahwa sebutan Balang mengacu pada Kiai Abdul Karim bin Syits. Begitu juga sebutan Agung Balang. “Karena sebutan Balang itu ‘kan berasal dari kata Hulubalang dalam riwayat di sana,” katanya.
Sementara makam Kiai Abdul Karim bin Syits sendiri kondisinya masih original. Bentuknya khas, dengan gunungan mirip wayang di belakang olo (nisan bagian kepala) setinggi kurang lebih satu meter. Di sampingnya ialah makam isteri Kiai Abdul Karim yang disebut putri Mataram.
“Di bagian barat diduga makam Kiai Syits, karena ada riwayat ketika telah sepuh beliau diminta sang anak untuk hijrah ke Balang dan wafat di sini,” kata H. Thalabuddin.
*****
Kiai Abdul Karim bin Syits tercatat memiliki beberapa putra-putri. Di antaranya seperti yang tertulis di catatan silsilah Bani Agung Balang; Kiai Abdus Shidqi Karongkong, Kiai Abdul Ilma (Buju’ Kokap), Kiai Abdul Quddus, dan lainnya.
Dalam catatan silsilah Balang itu disebut beberapa pengasuh pesantren besar di Sumenep, Pamekasan dan beberapa wilayah di Tapal kuda masih juga merupakan keturunan Kiai Abdul Karim. Menurut keterangan Ardi, salah satu narasumber di muka, haul Kiai Abdul Karim diperingati setiap tahun.
Ng
0 Komentar